Oleh Titik Kartitiani
Nationalgeographic.co.id—"Kadang saya iri sama Cok Sawitri. Dia itu manusia serba bisa. Nulis puisi, novel, cerita pendek, dan lakon. Tapi kehebatan Cok Sawitri sebenarnya saat ia berada di atas pentas. Ya pentas tontonan, juga pentas kehidupan. Ia aktivis sejati," demikian kenang F. Rahardi, seorang satrawan dan penulis novel, dalam akun Facebook-nya.
Forum Rio+10 tahun di Yogyakarta, 2002. Seorang perempuan, mengenakan seragam ASN berwarna coklat dengan rambut panjang berkepang satu, berbicara lantang tentang sedikitnya delegasi perempuan di konferensi dunia tersebut.
Ia memaparkan beberapa konsep tentang perjuangan lingkungan dan kehadiran perempuan. Kala itu, kedua isu tersebut masih samar dan dia sudah berbicara lantang. Ada wajah birokrat yang berbeda. Dia adalah Cokorda Sawitri atau akrab disapa Cok Sawitri.
Tak banyak yang tahu, Cok, demikian ia akrab, pernah menjadi ASN. Predikat itu tidak lama. Ia memilih jalur aktivis, budayawan, penulis, dan banyak predikasi lainnya. Tapi hal yang selalu ia banggakan: sebagai tukang setrika.
Cok kerap IG Live sambil menyetrika baju dan berbicara banyak hal. Obrolannya bernas kalau tabah mengikuti, meski dibalut dengan candaan. Menyetrika karut marut (negeri) yang kusut.
Agar Gagah Menulis Puisi Cinta
Bila F. Rahardi mengatakan bahwa kehebatan Cok bukan hanya di panggung pertunjukan, tapi juga panggung kehidupan, beberapa peristiwa menunjukkan hal demikian. Kala itu, pelebon (ngaben) sang ayah, Cokorda Gede Raja pada 17 September 2017 di Puri Sidemen, Karangasem, Bali.
Pulau Dewata punya cara megah megah untuk mengantar perjalanan seseorang ke alam selanjutnya. Cok Sawitri dan Puri Sidemen menghadirkan sinkronisasi antara duka dan kekuatan untuk melanjutkan kehidupan dengan cara sendiri. Sebuah panggung bertajuk Lepas Duka digelar di puri.
Sebagaimana diri Cok yang merangkum aneka jiwa seni, panggung itu seperti bukan panggung duka kehilangan orang terkasih yang isinya air mata. Panggung itu mementaskan musik yang ingar bingar dari gitar elektrik Cok Agus berpadu dengan hentakan drum, tarian bali, dan puncaknya adalah nyanyian merdu Ayu Laksmi (Swara Semesta). Mereka berkolaborasi dengan pentas teatrikal Cok Sawitri yang natural, spontan, dan memukau. Cok memang panggung itu.