Cok Sawitri, Dia yang Bercerita Itu Telah Pergi

By National Geographic Indonesia, Minggu, 7 April 2024 | 21:26 WIB
Pentas 'Calonarang' di Gereja Ayam, Magelang, salah satu rangkaian Borobudur Writer and Culturals Festival, 22 November 2019. (Titik Kartitiani)

“Ayah saya suka seni. Pasti dia suka kalau ada panggung seni,” kata Cok kepada saya.

Lebih dari sekadar panggung seni dan pertunjukan, ada sisi lain panggung kehidupan. Ketika pentas usai, ketika duka masih menyisakan geletarnya meski berusaha ditepis oleh keriangan panggung, Cok menghilang dari keriuhan panggung. Ia sibuk di dapur, menata gelas kotor usai pesta, membersihkan sisa-sisa makanan yang masih menempel di piring, dan mengumpulkan ratusan perabotan kotor ke dalam ember.

“Besok pagi, kalau yang tugas mencuci sudah datang, dia akan senang. Sudah rapi, tinggal mencuci,” ujarnya. Saya menyaksikan Cok menuang red wine di meja bundar. Ia menyeruputnya, hening. Pukul 02.00 WITA.

Cok banyak menyuarakan kesetaraan gender dalam banyak karyanya. Namun pekerjaan domestik tidak dipandangnya sebagai kontraprodutif dengan kesetaraan gender ketika ia yang memilihnya.

Cok memilih feminisme seperti pandangan Luce Irigaray, feminis dan filsuf dari Prancis yang menyatakan bahwa perempuan tidak perlu dibandingkan dengan gender lain.

Salah satu fragmen panggung 'Tamasya Tak Biaya' yang mementaskan novel Sitayana, Cok Sawitri (kiri) dengan Jero Jemiwi, Bentara Budaya Bali, 1 September 2019. (Titik Kartitiani)

Perempuan adalah entitas tersendiri yang punya hak yang sama untuk menentukan pilihan, nasib, dan tubuhnya. Sebagaimana cerpen karya Cok berjudul Rahim yang kemudian dialihmediakan menjadi teatrikal film pada 2021.

Karya tersebut digarap oleh sutradara Adrian Tan. Tampil Cok sebagai Nagari yang memilih menghilangkan rahimnya sekaligus pihak kekuasaan yang menginterogasi Nagari. Kepiawaian Cok terlihat di sini. Film yang digarap dengan sekali take, tidak mengulang, dan Cok memerankan dua karakter yang kontras.  

Karya ini juga menghadirkan Ayu Weda dan Dewa Ayu Eka Putri sebagai pemerannya. Pesan yang disampaikan sangat kuat: perempuan berhak atas daulat terhadap tubuhnya sendiri. Daulat terhadap pilihan-pilihannya.

Pun ketika sekitar 5 tahun terakhir, Cok lebih memilih mendampingi ibunya yang sakit. Meski ada suster yang mendampingi, Cok total dalam mengurus ibunya, Jero Wisma. Ibunya meninggal sebulan sebelum Cok, 4 Maret 2024.

Pada saat mengurus ibunya, Cok kerap live bersama Bali Coaching Clinic asuhan Jero Jemiwi untuk kampanye banyak hal. Mulai dari gerakan self love hingga berbagi pengetahuan cara mendampingi para senior, orang tua/anggota keluarga lanjut usia. Pengalaman-pengalaman praktis, teknis, dan psikologis yang dibutuhkan para caregiver.

Pilihan itu menjadikan Cok harus menyesuaikan jadwal ketika harus menghadiri acara, mempersiapkan pentas, atau berkarya di luar rumah. Bagi sebagian orang, hal ini dianggap menghentikan karir. Tapi bagi Cok, seperti menjalanan fase “panggung” dalam bentuk lain.