Novel lainnya, Janda dari Jirah, novel ini disampaikan dengan sangat puitis. Setiap pilihan katanya liris dan mengiris. Sampai akhirnya ia bisa menunjukkan sisi lain atau bahkan membalik stigma selama ini tentang Calonarang.
“Kenapa Calonarang selalu digambarkan sebagai penyihir jahat? Padahal tidak demikian menurut naskah-naskah kuno yang saya baca,” terang Cok.
Calonarang atau sang janda dari kampung Dirah (Jirah) adalah sosok yang cerdas, seorang ibu, dan seorang pemimpin. Ketika peradaban tak mengizinkan perempuan menjadikan warga kelas dua, maka narasi penyihir jahat disebarkan.
Dalam menuliskan Janda dari Jirah, terlihat totalitas Cok di sini. Bahkan menurutnya, ia perlu sejenak “keluar” dari tokoh itu untuk kembali pada kehidupannya.
Tak hanya berhenti pada novel, Cok juga mementaskan Calonarang dalam bentuk teater. Pentas Monolog Pembelaan Dirah (1997), pentas di salah satu rangkaian Borobudur Writer and Culturals Festival (BWCF) 2019 di Magelang. Calonarang dalam pentas Cok menjadi magis.
Novel yang juga dialihmediakan ke panggung yaitu Sitayana. Dalam novel itu, Cok kembali membuat perenungan tentang cinta sejati. Jika selama ini, lambang cinta sejati adalah Rama dan Sinta, bagaimana dengan Rahwana yang mencintai Sinta tanpa syarat? Prosa liris yang terkandung dalam novel ini bergerak menjadi teman perenungan dan dialektika.
Pentas Sitayana bertajuk Tamasya yang Tak Biasa di Bentara Budaya Bali bertempatan dengan ulang tahun Cok Sawitri ke-51, 1 September 2019. Sebuah pementasan yang khidmat yang melibatkan Jero Jemiwi yang mementaskan Nyanyian Sitayana, Gung Agung, Antida Darsana, Syafiudin Vifick, dan lain-lain. Hadir juga pada saat itu Umbu Landu Paranggi, penyair.
“Novel Sitayana memang saya dedikasikan untuk secara kognitif melalui bacaan akan berani menjenguk kemungkinan baru. Prosa liris tidaklah semata hanya berputis ataukah eksploatasi kejadiana dalam berbagai perlawanan sosial. Batas minimal ketika Anda membaca ataukah mendengar nyanyian Sitayana ini kelak, Anda akan tersentuh hati,” terang Cok tentang pentas Sitayana.
Pada pertunjukan tersebut, adegan ketika Rahwana yang diwujudkan dalam wayang raksasa terbuat dari anyaman bambu yang dinamakan wayang cahaya, bertemu dengan Sita (diperankan oleh Dayu Ani), menjadi adegan yang menyentuh hati. Penonton akan dibawa pada imaji liris masing-masing, pada pengharapan sekaligus penyerahdirian.
Untuk puisi, Cok membuat buku puisi yang tak biasa. Satu buku 140 halaman itu hanya berisi satu puisi dengan judul Setahun Kematian (Semilyar Nyanyianku Mati, Kiamatku dalam Jarak 3 Centimeter) terbit tahun 2013 kemudian diterbitkan ulang pada Maret 2022.
Buku puisi ini berisi puisi panjang sebagaimana dalam tradisi tua di Bali, merupakan tahap terpenting bagi seseorang untuk melanjutkan kepenulisannya. Bagi Cok, menulis puisi menjadi bagian terpenting dalam membekalinya untuk memahami naskah kuno sastra Bali.