Nationalgeographic.co.id—Peradaban agraris begitu melekat dalam kehidupan tradisional di Indonesia. Kebutuhan pangan dipertahankan dengan sistem agraria tradisional yang canggih dan diwariskan oleh leluhur.
Di Bali, masyarakat mengenal subak. Sistem pengairan teratur ini membuat kawasan pertanian terus berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pangan.
"Subak di Bali itu memiliki nilai-nilai khusus dibanding sistem irigasi yang ada di berbagai suku bangsa di Indonesia," kata Harry Truman Simanjuntak, peneliti arkeologi Center for Preshistoric and Austronesian Studies (CPAS) dalam bincang daring pada 29 Februari 2024.
Dengan sistem irigasi subak, masyarakat Bali menerapkan ajaran Hindu Bali. Pemahaman ini sudah berlangsung sejak masa pra-Hindu sebagai wujud masyarakat yang menerapkan "budaya ekologis".
Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, pemahaman ini mulai tergerus dengan perkembangan industri pariwisata di Bali. "Kalau dirunut, sebenarnya, [subak] masih dilakukan oleh masyarakat [Bali]--menjadi gaya hidup," kata I Made Geria, peneliti arkeologi CPAS dan Mantan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
"Di samping untuk pertanian, subak itu upaya merawat Bumi, keberlanjutan" lanjutnya. Pengelolaannya berdasarkan pemahaman Tri Mandala masyarakat Bali yang dipimpin ketua adat. Setiap kawasan Tri Mandala, terdapat perlakuan khusus supaya aliran sungai dapat memenuhi kebutuhan manusia, alam, dan pertanian.
Tri Mandala pertama disebut Utama Mandala. Kawasan ini berada di sekitar hulu seperti gunung dan danau. Kawasan ini tidak boleh diganggu oleh aktivitas manusia dan disucikan. Aliran sungai di Madya Mandala, kawasan kedua, harus steril dari aktivitas manusia. Para ketua adat akan menyucikan aliran ini, termasuk dengan membangun candi.
Kawasan terakhir adalah Nista Mandala yang umumnya adalah area pemanfaatan seperti pertanian. Dengan demikian, masyarakat tradisional Bali mengawal aliran sungai untuk selalu bersih dari hulu ke hilir, terang Made. "Subak itu merupakan bagian dari hilirisasi hidrologi tradisional di Bali," lanjutnya.
Warisan Masyarakat Bali Sejak Megalitik
Made menguraikan bahwa konsep subak sudah ada sebelum agama Hindu masuk di Bali. Hal itu diperkuat dengan temuan arkeologis dan pemakaman kuno yang menghadap ke gunung.
Ada pun peninggalan megalitik Bale Timbang yang berada di kawasan sungai dekat empat desa yang masih mewariskan tradisi. Tengara serupa diteruskan pada masa-masa berikutnya seperti Tahta Batu di Jatiluwih.
"Dan ini masuk akal. Bale Timbang adalah tempat untuk mempertimbangkan dengan keberadaan air, permasalahan perihal subak, pola tanam. Di situlah para petani mendiskusikan tentang keberadaan, mekanisme pengelolaan sawah, dan sebagainya," urai Made.