Merajut Harmoni Luhur Antara Alam dan Manusia dari Subak Bali

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 10 April 2024 | 09:00 WIB
Subak merupakan sistem ekologi yang berkeadilan antara kebutuhan manusia dan pelestarian alam. Sistem ini sudah diwariskan sejak sebelum kedatangan agama Hindu oleh masyarakat Bali. Ada pun sistem ini merupakan cerminan salah satu demokrasi tertua di dunia dalam pembagian tanah. (Yunaidi Joepoet)

Kemudian pengetahuan ini diwariskan pada periode selanjutnya. Dalam prasasti Pengotan Bali dari 1069, raja harus mengelola subak dan peduli pada konservasi. Kepengurusan harus memandang lanskap Bali harus dilindungi, termasuk masalah hidrologi.

"Secara hierarki, raja-raja berikutnya mengikuti. Tujuannya adalah menyelamatkan air dari Gunung Batur, untuk hilirisasi subak," terang Made.

Prasasti itu terdiri dari peraturan, termasuk Kayu Larangan, tidak boleh menebang pohon-pohon tertentu. Kayu juga tidak boleh menghalangi aliran sungai. Inilah konsep berkeadilan terhadap lingkungan yang ditekuni masyarakat Bali sejak dulu.

Ada pun beberapa prasasti yang menyebutkan "suwak" yang merupakan asal kata subak. Salah satunya prasasti Pandak Badung dari tahun 1071. Prasasti itu merujuk pada nama Subak Talaga. 

Pola sawah dalam jaringan irigasi subak di Bali melingkar, seperti konsep pemahaman masyarakat akan posisinya dengan alam. Mereka memusatkan hubungan harmoni antara Buana Agung (Bumi) dan Alit (manusia) yang sebenarnya satu kesatuan. Jika bagian dalam ini terpisah dari habitat sekitar, akan ada ancaman bencana.

"Itu pelajaran berharga yang diwarisi leluhur. Di Indonesia banyak dari ratusan suku bangsa yang memiliki nilai tradisi seperti ini," jelasnya. "Berkelanjutan ini bukan hanya mewarisi tradisi, tetapi bagaimana tradisi itu melakukan atau me-protect alam supaya generasi berikutnya bisa memanfaatkan. Itu upaya sustainable."

Subak untuk Konservasi Dunia

Bersama Harry, Made memperkirakan bahwa sistem seperti ini sangat mungkin untuk diterapkan secara universal. Pasalnya, leluhur manusia sudah memikirkan sistem irigasi begitu mengenal pertanian.

Misalnya, masyarakat di Nusa Tenggara Timur mengenal irigasi dengan pola sawah lingko todo seperti jaring laba-laba yang dapat membagi air secara merata ke setiap petak sawah.

Ada pun Tiongkok mengenal sistem xinghua duotioan yang membuka aliran lebar, menyeluruh untuk membasahi petak sawah, sekaligus mencegah banjir. Begitu pula terasering sawah padi Bnaue di Filipina.

"Budaya tentang pengelolaan air itu sudah ada di berbagai masyarakat, bukan saja di Bali, Jawa, dan daerah Asia," terang Made. "Ada rekayasa ekologi di situ. Masyarakat di situ ada tradisi konservasi ekologi dengan membuat irigasi seperti itu. Ini juga mencegah dari alih fungsi [lahan pertanian]."

Kekayaan pengetahuan subak di Bali perlu diperhatikan untuk tetap lestari. Bali modern menjadi tempat destinasi wisata yang memikat bagi masyarakat penjuru dunia karena keindahan alam dan spiritualitasnya.

Made menyarankan, subak bisa menjadi wisata edukasi keberlanjutan berbasis tradisi. Dengan demikian, pengetahuan ini bisa terlebar luas dan berpeluang untuk diterapkan di tempat lain sebagai upaya menjaga hubungan alam dan manusia.