Merajut Harmoni Luhur Antara Alam dan Manusia dari Subak Bali

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 10 April 2024 | 09:00 WIB
Subak merupakan sistem ekologi yang berkeadilan antara kebutuhan manusia dan pelestarian alam. Sistem ini sudah diwariskan sejak sebelum kedatangan agama Hindu oleh masyarakat Bali. Ada pun sistem ini merupakan cerminan salah satu demokrasi tertua di dunia dalam pembagian tanah. (Yunaidi Joepoet)

Nationalgeographic.co.id—Peradaban agraris begitu melekat dalam kehidupan tradisional di Indonesia. Kebutuhan pangan dipertahankan dengan sistem agraria tradisional yang canggih dan diwariskan oleh leluhur.

Di Bali, masyarakat mengenal subak. Sistem pengairan teratur ini membuat kawasan pertanian terus berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

"Subak di Bali itu memiliki nilai-nilai khusus dibanding sistem irigasi yang ada di berbagai suku bangsa di Indonesia," kata Harry Truman Simanjuntak, peneliti arkeologi Center for Preshistoric and Austronesian Studies (CPAS) dalam bincang daring pada 29 Februari 2024.

Dengan sistem irigasi subak, masyarakat Bali menerapkan ajaran Hindu Bali. Pemahaman ini sudah berlangsung sejak masa pra-Hindu sebagai wujud masyarakat yang menerapkan "budaya ekologis".

Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, pemahaman ini mulai tergerus dengan perkembangan industri pariwisata di Bali. "Kalau dirunut, sebenarnya, [subak] masih dilakukan oleh masyarakat [Bali]--menjadi gaya hidup," kata I Made Geria, peneliti arkeologi CPAS dan Mantan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

"Di samping untuk pertanian, subak itu upaya merawat Bumi, keberlanjutan" lanjutnya. Pengelolaannya berdasarkan pemahaman Tri Mandala masyarakat Bali yang dipimpin ketua adat. Setiap kawasan Tri Mandala, terdapat perlakuan khusus supaya aliran sungai dapat memenuhi kebutuhan manusia, alam, dan pertanian.

Tri Mandala pertama disebut Utama Mandala. Kawasan ini berada di sekitar hulu seperti gunung dan danau. Kawasan ini tidak boleh diganggu oleh aktivitas manusia dan disucikan. Aliran sungai di Madya Mandala, kawasan kedua, harus steril dari aktivitas manusia. Para ketua adat akan menyucikan aliran ini, termasuk dengan membangun candi.

Kawasan terakhir adalah Nista Mandala yang umumnya adalah area pemanfaatan seperti pertanian. Dengan demikian, masyarakat tradisional Bali mengawal aliran sungai untuk selalu bersih dari hulu ke hilir, terang Made. "Subak itu merupakan bagian dari hilirisasi hidrologi tradisional di Bali," lanjutnya.

Warisan Masyarakat Bali Sejak Megalitik

Made menguraikan bahwa konsep subak sudah ada sebelum agama Hindu masuk di Bali. Hal itu diperkuat dengan temuan arkeologis dan pemakaman kuno yang menghadap ke gunung.

Ada pun peninggalan megalitik Bale Timbang yang berada di kawasan sungai dekat empat desa yang masih mewariskan tradisi. Tengara serupa diteruskan pada masa-masa berikutnya seperti Tahta Batu di Jatiluwih.

"Dan ini masuk akal. Bale Timbang adalah tempat untuk mempertimbangkan dengan keberadaan air, permasalahan perihal subak, pola tanam. Di situlah para petani mendiskusikan tentang keberadaan, mekanisme pengelolaan sawah, dan sebagainya," urai Made.

Kemudian pengetahuan ini diwariskan pada periode selanjutnya. Dalam prasasti Pengotan Bali dari 1069, raja harus mengelola subak dan peduli pada konservasi. Kepengurusan harus memandang lanskap Bali harus dilindungi, termasuk masalah hidrologi.

"Secara hierarki, raja-raja berikutnya mengikuti. Tujuannya adalah menyelamatkan air dari Gunung Batur, untuk hilirisasi subak," terang Made.

Prasasti itu terdiri dari peraturan, termasuk Kayu Larangan, tidak boleh menebang pohon-pohon tertentu. Kayu juga tidak boleh menghalangi aliran sungai. Inilah konsep berkeadilan terhadap lingkungan yang ditekuni masyarakat Bali sejak dulu.

Ada pun beberapa prasasti yang menyebutkan "suwak" yang merupakan asal kata subak. Salah satunya prasasti Pandak Badung dari tahun 1071. Prasasti itu merujuk pada nama Subak Talaga. 

Pola sawah dalam jaringan irigasi subak di Bali melingkar, seperti konsep pemahaman masyarakat akan posisinya dengan alam. Mereka memusatkan hubungan harmoni antara Buana Agung (Bumi) dan Alit (manusia) yang sebenarnya satu kesatuan. Jika bagian dalam ini terpisah dari habitat sekitar, akan ada ancaman bencana.

"Itu pelajaran berharga yang diwarisi leluhur. Di Indonesia banyak dari ratusan suku bangsa yang memiliki nilai tradisi seperti ini," jelasnya. "Berkelanjutan ini bukan hanya mewarisi tradisi, tetapi bagaimana tradisi itu melakukan atau me-protect alam supaya generasi berikutnya bisa memanfaatkan. Itu upaya sustainable."

Subak untuk Konservasi Dunia

Bersama Harry, Made memperkirakan bahwa sistem seperti ini sangat mungkin untuk diterapkan secara universal. Pasalnya, leluhur manusia sudah memikirkan sistem irigasi begitu mengenal pertanian.

Misalnya, masyarakat di Nusa Tenggara Timur mengenal irigasi dengan pola sawah lingko todo seperti jaring laba-laba yang dapat membagi air secara merata ke setiap petak sawah.

Ada pun Tiongkok mengenal sistem xinghua duotioan yang membuka aliran lebar, menyeluruh untuk membasahi petak sawah, sekaligus mencegah banjir. Begitu pula terasering sawah padi Bnaue di Filipina.

"Budaya tentang pengelolaan air itu sudah ada di berbagai masyarakat, bukan saja di Bali, Jawa, dan daerah Asia," terang Made. "Ada rekayasa ekologi di situ. Masyarakat di situ ada tradisi konservasi ekologi dengan membuat irigasi seperti itu. Ini juga mencegah dari alih fungsi [lahan pertanian]."

Kekayaan pengetahuan subak di Bali perlu diperhatikan untuk tetap lestari. Bali modern menjadi tempat destinasi wisata yang memikat bagi masyarakat penjuru dunia karena keindahan alam dan spiritualitasnya.

Made menyarankan, subak bisa menjadi wisata edukasi keberlanjutan berbasis tradisi. Dengan demikian, pengetahuan ini bisa terlebar luas dan berpeluang untuk diterapkan di tempat lain sebagai upaya menjaga hubungan alam dan manusia.