Hal itu dibuktikannya dengan hanya dalam hitungan dekade, Kwik Djoen Eng telah menjelma menjadi salah satu pebisnis terkemuka di Asia Tenggara dengan kekayaan yang luar biasa.
Di tengah perkembangannya dalam perekonomian rempah-rempah di Hindia Belanda, Kwik Djoen Eng membangun banyak perkebunan raksasa di banyak pelosok Hindia Belanda. Hal itulah yang mencerminkan sisi prestisenya yang agung.
Bukti kekayaan yang dibangunnya seperti Istana Djoen Eng di Salatiga yang juga dikenal dengan Institut Roncalli. Di antara hunian mewah yang ia kembangkan adalah sebuah rumah bangsawan indah yang ia tempatkan tepat di pusat kota Yogyakarta.
Kwik Djoen Eng mendesain rumah barunya dengan gaya Art Deco Eropa, memadukannya dengan kombinasi estetika arsitektur Jawa. Art Deco menggabungkan konsep desain kontemporer dengan arsitektur dan spektrum seni dekoratif yang luas.
Konsep desainnya berfokus pada pandangan futuristik dengan tetap mempertahankan kualitas dan keahlian tertinggi dengan mengambil inspirasi dari seni dan artefak kuno dan primitif, termasuk paduan dari arsitektur kuno Jawa dan Bali.
Ketika Kwik Djoen Eng akhirnya menyelesaikan rumah mewah miliknya pada tahun 1918, bangunan tersebut menjadi contoh indah arsitektur Indonesia-Belanda, yang dikenal sebagai "Indische."
Namun, Kwik Djoen Eng tidak lama tinggal di istana megahnya. Depresi besar melemahkan stabilitas keuangannya. Seiring dengan krisis ekonomi global, membuat semua bisnisnya bangkrut.
Oleh karena kebangkrutan dan lilitan hutang, De Javasche Bank setempat menyita sebagian besar perkebunannya di Hindia Belanda, menjual aset rumahnya yang berharga, yang kemudian menjualnya kepada penawar swasta.
Pengusaha lokal lainnya bernama Liem Djoen Hwat membeli rumah Kwik Djoen Eng di Yogyakarta pada pertengahan tahun 1930-an, yang akhirnya mengubahnya menjadi sebuah hotel mewah yang ia juluki sebagai “Hotel Splendid.”
Hotel Splendid tetap beroperasi hingga awal tahun 1940-an, ketika Jepang menduduki Jawa selama Perang Dunia II. Setelahnya, bangunan ini kembali berganti nama menjadi “Hotel Yamato”.
Nama itu diubah seiring pendudukan dari Tentara Kekaisaran Jepang menggunakan bangunan tersebut sebagai lokasi markas besar mereka di Yogyakarta. Namun kekalahan Jepang di tangan Sekutu, membuat bangunan itu kembali pada pemilik lamanya.
Menyusul kepergian tentara Jepang, Liem Djoen Hwat memperoleh kembali bangunan mewahnya itu. Kemudian, Liem membukanya kembali sebagai “Hotel Merdeka” pada tahun 1951 dan mendapat banyak pujian.
Selama 36 tahun berikutnya, Hotel Merdeka membangun reputasi yang terkenal atas keramahtamahannya yang luar biasa. Hotel ini segera menjadi tujuan liburan yang diinginkan oleh banyak politisi dan selebriti internasional yang bepergian.
Bahkan menjadi rumah bagi Presiden termasyhur Indonesia, Sukarno. Karena nilai sejarahnya yang besar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menetapkan hotel ini sebagai landmark bersejarah nasional pada tahun 1996.
Hotel bersejarah ini terus beroperasi. Namanya kembali berganti lagi menjadi "The Phoenix Hotel Yogyakarta – MGallery by Sofitel" sejak tahun 2009. Gaya antik tetap menarik perhatian dan kesan kekunaannya bertahan sampai hari ini.