Nationalgeographic.co.id—Yogyakarta selalu memiliki kesan tersendiri bagi orang-orang yang mengunjunginya. Di sana-sini terpampang bangunan-bangunan tua estetis yang menyimpan kisah bersejarah di sebaliknya.
Salah satu bangunan itu adalah The Phoenix Hotel Yogyakarta - MGallery. Hotel ini terletak di Jl. Jendral Sudirman No.9, Cokrodiningratan, Kec. Jetis, Kota Yogyakarta. Di balik kemegahan dan kekunaan arsitekturnya, tersimpan kisah prestis sang empunya.
Ia adalah Kwik Djoen Eng, pedagang gula kaya raya yang menggurat kisah kesukesannya di balik hotel tua nan estetis itu. Dalam literatur asing, Kwik Djoen Eng rupanya juga dikenal sebagai Kwok Chun Yeung atau Chun Yang, kependekan dari Guo Chun Yang.
Kisahnya bermula pada tahun 1890-an, ketika pengusaha keturunan Tionghoa ini tiba pertama kali di kota Yogyakarta. Tujuan awalnya untuk memfokuskan dirinya dalam perdagangan rempah-rempah.
Pada saat itu, perdagangan rampah yang menjanjikan telah menggiring langkah Kwik Djoen Eng dari Taiwan menuju Jawa. Namun seiring berjalannya waktu, Djoen Eng lebih dikenal sebagai "Raja Gula."
"Secara khusus, (ia) memulai ekspor gula dari Yogyakarta ke luar negeri," tulis reponden Historic Hotels Worldwide dalam artikelnya berjudul The Phoenix Hotel Yogyakarta - MGallery by Sofitel terbitan tahun 2024.
Dalam perjalanan bisnisnya, Kwik Djoen Eng berhasil mendirikan perusahaan yang cukup sukses bersama saudaranya, Kwik Siang Kaw, dengan perusahaannya bernama NV Kwik Hoo Tong Handel Maatschappij.
Pada tahun 1914, setelah mendirikan firma dagang terkenal Kwik Hoo Tong (KHT) di Solo, ia kembali mengembangkan firmanya di Semarang. Di mana, ia mengimpor 17.000 boks teh pouchong dari Taiwan.
"Teh pouchong yang diimpor oleh KHT kemudian dijual ke pedagang retail," tulis Nugi Vibisono dalam skripsinya berjudul Hubungan Kwik Hoo Tong Handelmatschappij di Semarang dengan De Javache Bank Agentschap Semarang tahun 1909-1934, terbitan 2021.
Dapat dikatakan bahwa perusahaan KHT telah meraup banyak keuntungan dengan membangun jejaring bisnis teh yang luas di wilayah Jawa Tengah. Terlebih, kekuatan terbesarnya terletak di kawasan Vorstenlanden.
Usaha bisnisnya sukses sehingga Kwik Djoen Eng mulai membuka brand tambahan di seluruh Pulau Jawa, bahkan dia juga mulai menjadi pengusaha gula yang berhasil.
Baca Juga: Manisnya Tebu, Bermulanya Sejarah Kolonialisme Belanda di Jawa
Hal itu dibuktikannya dengan hanya dalam hitungan dekade, Kwik Djoen Eng telah menjelma menjadi salah satu pebisnis terkemuka di Asia Tenggara dengan kekayaan yang luar biasa.
Di tengah perkembangannya dalam perekonomian rempah-rempah di Hindia Belanda, Kwik Djoen Eng membangun banyak perkebunan raksasa di banyak pelosok Hindia Belanda. Hal itulah yang mencerminkan sisi prestisenya yang agung.
Bukti kekayaan yang dibangunnya seperti Istana Djoen Eng di Salatiga yang juga dikenal dengan Institut Roncalli. Di antara hunian mewah yang ia kembangkan adalah sebuah rumah bangsawan indah yang ia tempatkan tepat di pusat kota Yogyakarta.
Kwik Djoen Eng mendesain rumah barunya dengan gaya Art Deco Eropa, memadukannya dengan kombinasi estetika arsitektur Jawa. Art Deco menggabungkan konsep desain kontemporer dengan arsitektur dan spektrum seni dekoratif yang luas.
Konsep desainnya berfokus pada pandangan futuristik dengan tetap mempertahankan kualitas dan keahlian tertinggi dengan mengambil inspirasi dari seni dan artefak kuno dan primitif, termasuk paduan dari arsitektur kuno Jawa dan Bali.
Ketika Kwik Djoen Eng akhirnya menyelesaikan rumah mewah miliknya pada tahun 1918, bangunan tersebut menjadi contoh indah arsitektur Indonesia-Belanda, yang dikenal sebagai "Indische."
Namun, Kwik Djoen Eng tidak lama tinggal di istana megahnya. Depresi besar melemahkan stabilitas keuangannya. Seiring dengan krisis ekonomi global, membuat semua bisnisnya bangkrut.
Oleh karena kebangkrutan dan lilitan hutang, De Javasche Bank setempat menyita sebagian besar perkebunannya di Hindia Belanda, menjual aset rumahnya yang berharga, yang kemudian menjualnya kepada penawar swasta.
Pengusaha lokal lainnya bernama Liem Djoen Hwat membeli rumah Kwik Djoen Eng di Yogyakarta pada pertengahan tahun 1930-an, yang akhirnya mengubahnya menjadi sebuah hotel mewah yang ia juluki sebagai “Hotel Splendid.”
Hotel Splendid tetap beroperasi hingga awal tahun 1940-an, ketika Jepang menduduki Jawa selama Perang Dunia II. Setelahnya, bangunan ini kembali berganti nama menjadi “Hotel Yamato”.
Nama itu diubah seiring pendudukan dari Tentara Kekaisaran Jepang menggunakan bangunan tersebut sebagai lokasi markas besar mereka di Yogyakarta. Namun kekalahan Jepang di tangan Sekutu, membuat bangunan itu kembali pada pemilik lamanya.
Menyusul kepergian tentara Jepang, Liem Djoen Hwat memperoleh kembali bangunan mewahnya itu. Kemudian, Liem membukanya kembali sebagai “Hotel Merdeka” pada tahun 1951 dan mendapat banyak pujian.
Selama 36 tahun berikutnya, Hotel Merdeka membangun reputasi yang terkenal atas keramahtamahannya yang luar biasa. Hotel ini segera menjadi tujuan liburan yang diinginkan oleh banyak politisi dan selebriti internasional yang bepergian.
Bahkan menjadi rumah bagi Presiden termasyhur Indonesia, Sukarno. Karena nilai sejarahnya yang besar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menetapkan hotel ini sebagai landmark bersejarah nasional pada tahun 1996.
Hotel bersejarah ini terus beroperasi. Namanya kembali berganti lagi menjadi "The Phoenix Hotel Yogyakarta – MGallery by Sofitel" sejak tahun 2009. Gaya antik tetap menarik perhatian dan kesan kekunaannya bertahan sampai hari ini.