Nationalgeographic.co.id—Hasil kajian dari Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa bahasa Indonesia telah menjadi sarana komunikasi dominan di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste. Pengguanaan bahasan Indonesia ini memperkuat hubungan kekerabatan dan warisan budaya antara kedua masyarakat.
Kesimpulan itu merupakan hasil kajian linguistik lanskap dari tim penelitian Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN yang dipimpin oleh Budi Agung Sudarmanto.
Budi menjelaskan bahwa penelitian ini dilakukan di daerah perbatasan Indonesia–Timor Leste. Makalah studi ini telah terbit di jurnal Cogent Arts & Humanities pada 2023 dengan judul "The languages on the border of Indonesia and Timor Leste: A linguistic landscape study".
Studi ini dilakukan bersama peneliti dari Universitas Udayana Bali dan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Studi ini menyoroti kontestasi bahasa dan bentuk-bentuk komunikasi yang terjadi di wilayah perbatasan kedua negara.
“Penelitian linguistik lanskap di wilayah perbatasan ini menjadi penting untuk dikaji karena tidak hanya berkaitan dengan bahasa tetapi juga politik, kebijakan, masyarakat, dan identitas,” ungkap Budi akhir bulan lalu seperti dikutip dari web BRIN.
Lebih jauh, Budi menjelaskan bahwa hasil kajian mereka menunjukkan bahasa daerah ditemukan di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste, tetapi masih dalam jumlah yang sangat sedikit.
Pada ranah ruang publik, penggunaan dwi bahasa (bilingual) lebih banyak dibandingkan dengan yang monolingual. Adapun penggunaan multibahasa lebih banyak ditemukan pada iklan yang menggambarkan promosi atas barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan.
Budi memaparkan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang mendeskripsikan dan menganalisis data dengan rinci dan mendalam. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah observasi dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat delapan bahasa di ruang publik wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste, yaitu bahasa Indonesia, Inggris, Tetun, Dawan, Melayu Kupang, Kemak, Arab, dan Portugis. Bahasa yang ditampilkan di ruang publik berbentuk monolingual, bilingual, dan multilingual.
“Kesamaan latar belakang bahasa, budaya, dan hubungan kekerabatan dengan masyarakat di wilayah perbatasan Timor Leste menjadi alasan utama mengapa bahasa Indonesia masih mendominasi dibandingkan bahasa resmi Timor Leste,” jelasnya.
Budi juga menerangkan bahwa dia dan timnya telah melakukan observasi di Kota Kefamenanu dan Atambua sebagai ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Belu di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Hal ini didasari pertimbangan letak strategis kedua kota tersebut sebagai kota terdekat di kawasan perbatasan Indonesia–Timor Leste.