Dominasi Bahasa Indonesia di Wilayah Perbatasan Indonesia-Timor Leste

By Utomo Priyambodo, Minggu, 14 April 2024 | 19:00 WIB
Para tentara penjaga wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste. (AntaraTV/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Hasil kajian dari Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa bahasa Indonesia telah menjadi sarana komunikasi dominan di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste. Pengguanaan bahasan Indonesia ini memperkuat hubungan kekerabatan dan warisan budaya antara kedua masyarakat.

Kesimpulan itu merupakan hasil kajian linguistik lanskap dari tim penelitian Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN yang dipimpin oleh Budi Agung Sudarmanto.

Budi menjelaskan bahwa penelitian ini dilakukan di daerah perbatasan Indonesia–Timor Leste. Makalah studi ini telah terbit di jurnal Cogent Arts & Humanities pada 2023 dengan judul "The languages on the border of Indonesia and Timor Leste: A linguistic landscape study".

Studi ini dilakukan bersama peneliti dari Universitas Udayana Bali dan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Studi ini menyoroti kontestasi bahasa dan bentuk-bentuk komunikasi yang terjadi di wilayah perbatasan kedua negara.

“Penelitian linguistik lanskap di wilayah perbatasan ini menjadi penting untuk dikaji karena tidak hanya berkaitan dengan bahasa tetapi juga politik, kebijakan, masyarakat, dan identitas,” ungkap Budi akhir bulan lalu seperti dikutip dari web BRIN.

Lebih jauh, Budi menjelaskan bahwa hasil kajian mereka menunjukkan bahasa daerah ditemukan di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste, tetapi masih dalam jumlah yang sangat sedikit.

Pada ranah ruang publik, penggunaan dwi bahasa (bilingual) lebih banyak dibandingkan dengan yang monolingual. Adapun penggunaan multibahasa lebih banyak ditemukan pada iklan yang menggambarkan promosi atas barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan.

Budi memaparkan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang mendeskripsikan dan menganalisis data dengan rinci dan mendalam. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah observasi dan dokumentasi.

Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain yang menjadi wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste. (menpan.go.id)

Hasil penelitian menunjukkan terdapat delapan bahasa di ruang publik wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste, yaitu bahasa Indonesia, Inggris, Tetun, Dawan, Melayu Kupang, Kemak, Arab, dan Portugis. Bahasa yang ditampilkan di ruang publik berbentuk monolingual, bilingual, dan multilingual.

“Kesamaan latar belakang bahasa, budaya, dan hubungan kekerabatan dengan masyarakat di wilayah perbatasan Timor Leste menjadi alasan utama mengapa bahasa Indonesia masih mendominasi dibandingkan bahasa resmi Timor Leste,” jelasnya.

Budi juga menerangkan bahwa dia dan timnya telah melakukan observasi di Kota Kefamenanu dan Atambua sebagai ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Belu di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Hal ini didasari pertimbangan letak strategis kedua kota tersebut sebagai kota terdekat di kawasan perbatasan Indonesia–Timor Leste.

Kedua kota tersebut merepresentasikan keragaman sosial, etnis, agama, ekonomi, dan juga bahasa di kedua negara.

Selain itu, observasi juga dilakukan di wilayah Pos Lintas Batas Napan, Wini, dan Motaain serta di kantor imigrasi induk. Wilayah perbatasan Indonesia di Kabupaten Timor Tengah Utara ini dilengkapi dengan dua Pos Lintas Batas Negara yaitu Napan dan Wini, sedangkan di Kabupaten Belu terdapat Pos Lintas Batas Motaain.

Dari hasil obeservasi ini dapat diketahui tentang lanskap linguistik di wilayah perkotaan Atambua, Kefamenanu, wilayah pedesaan, dan pos lintas batas di kedua kabupaten tersebut. Lanskap linguistik di wilayah-wilayah tersebut tidak menunjukkan adanya indikasi akomodasi terhadap bahasa resmi Timor Leste. Konteks sosiolinguistik menunjukkan bahwa proses perubahan akan sangat bergantung pada pengaruh aspek sosial, politik, dan ekonomi, tetapi peluangnya sangat kecil. Pengamatan di kawasan perbatasan menunjukkan bahwa pelayanan pada dua kantor imigrasi tersebut menggunakan bahasa Indonesia.

Dari sini dapat dipahami bahwa bahasa nasional Timor Leste tidak memberikan pengaruh yang signifikan untuk digunakan di ruang publik Indonesia karena masyarakat Timor Leste fasih berbahasa Indonesia.

“Bahasa Indonesia dipandang sebagai lingua franca yang mampu mengakomodasi semua kepentingan," ujar Budi.

"Bahasa asing yang muncul adalah bahasa Inggris dan juga Arab (dalam jumlah yang tidak banyak), selain bahasa-bahasa daerah yang ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Penggunaan bahasa-bahasa daerah sangat sedikit penggunaannya, biasanya hanya dalam percakapan keluarga saja atau dalam ritual lisan adat,” bebernya.

Di sisi lain, Kehadiran bahasa Tetun, meskipun merupakan bahasa resmi di Timor Leste, tidak dianggap sebagai bahasa asing di wilayah perbatasan karena merupakan bahasa daerah bagi sebagian masyarakat etnis Tetun di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kontak bahasa antara kedua negara tidak mengancam identitas budaya masing-masing.

Meskipun demikian, penelitian ini masih menyisakan beberapa pertanyaan penting terkait persepsi masyarakat perbatasan terhadap penggunaan bahasa di ruang publik. Lebih lanjut, penelitian mendesak diperlukan untuk memahami sikap, preferensi, dan ideologi kebahasaan di kedua kota perbatasan, serta melengkapi penelitian dengan melibatkan kedua sisi perbatasan, baik di Indonesia maupun Timor Leste.