Dominasi Bahasa Indonesia di Wilayah Perbatasan Indonesia-Timor Leste

By Utomo Priyambodo, Minggu, 14 April 2024 | 19:00 WIB
Para tentara penjaga wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste. (AntaraTV/Wikimedia Commons)

Kedua kota tersebut merepresentasikan keragaman sosial, etnis, agama, ekonomi, dan juga bahasa di kedua negara.

Selain itu, observasi juga dilakukan di wilayah Pos Lintas Batas Napan, Wini, dan Motaain serta di kantor imigrasi induk. Wilayah perbatasan Indonesia di Kabupaten Timor Tengah Utara ini dilengkapi dengan dua Pos Lintas Batas Negara yaitu Napan dan Wini, sedangkan di Kabupaten Belu terdapat Pos Lintas Batas Motaain.

Dari hasil obeservasi ini dapat diketahui tentang lanskap linguistik di wilayah perkotaan Atambua, Kefamenanu, wilayah pedesaan, dan pos lintas batas di kedua kabupaten tersebut. Lanskap linguistik di wilayah-wilayah tersebut tidak menunjukkan adanya indikasi akomodasi terhadap bahasa resmi Timor Leste. Konteks sosiolinguistik menunjukkan bahwa proses perubahan akan sangat bergantung pada pengaruh aspek sosial, politik, dan ekonomi, tetapi peluangnya sangat kecil. Pengamatan di kawasan perbatasan menunjukkan bahwa pelayanan pada dua kantor imigrasi tersebut menggunakan bahasa Indonesia.

Dari sini dapat dipahami bahwa bahasa nasional Timor Leste tidak memberikan pengaruh yang signifikan untuk digunakan di ruang publik Indonesia karena masyarakat Timor Leste fasih berbahasa Indonesia.

“Bahasa Indonesia dipandang sebagai lingua franca yang mampu mengakomodasi semua kepentingan," ujar Budi.

"Bahasa asing yang muncul adalah bahasa Inggris dan juga Arab (dalam jumlah yang tidak banyak), selain bahasa-bahasa daerah yang ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Penggunaan bahasa-bahasa daerah sangat sedikit penggunaannya, biasanya hanya dalam percakapan keluarga saja atau dalam ritual lisan adat,” bebernya.

Di sisi lain, Kehadiran bahasa Tetun, meskipun merupakan bahasa resmi di Timor Leste, tidak dianggap sebagai bahasa asing di wilayah perbatasan karena merupakan bahasa daerah bagi sebagian masyarakat etnis Tetun di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kontak bahasa antara kedua negara tidak mengancam identitas budaya masing-masing.

Meskipun demikian, penelitian ini masih menyisakan beberapa pertanyaan penting terkait persepsi masyarakat perbatasan terhadap penggunaan bahasa di ruang publik. Lebih lanjut, penelitian mendesak diperlukan untuk memahami sikap, preferensi, dan ideologi kebahasaan di kedua kota perbatasan, serta melengkapi penelitian dengan melibatkan kedua sisi perbatasan, baik di Indonesia maupun Timor Leste.