Kelaparan Hebat Akibat Politik Beras Zaman Pendudukan Jepang

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 25 April 2024 | 14:37 WIB
Kelaparan hebat terjadi selama kependudukan Jepang di Hindia Belanda. Semua disebabkan politik beras yang diprioritaskan untuk kebutuhan militer, bukan untuk masyarakat banyak.
Kelaparan hebat terjadi selama kependudukan Jepang di Hindia Belanda. Semua disebabkan politik beras yang diprioritaskan untuk kebutuhan militer, bukan untuk masyarakat banyak. (Australian War Memorial)

Nationalgeographic.co.id—Jauh sebelum kemerdekaan, swasembada beras pernah terjadi di Pulau Jawa pada 1939. Proses kemasyhuran ini sudah tampak dari beberapa tahun sebelumnya. Terhitung sejak 1936 hingga 1941, Pulau Jawa menjadi pengekspor beras dengan besaran ratusan ribu ton setiap tahunnya, dan berdampak pada perekonomian Hindia Belanda.

Kelimpahan beras ini bukan berarti semua orang dapat makan cukup. Kondisi ini mengharuskan Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperbaiki sistem, guna memenuhi kebutuhan masyarakat di Jawa yang sangat bergantung pada beras sebagai makanan pokok.

Belum sempat terpikirkan, koloni Belanda terbesar itu harus tunduk ketika Kekaisaran Jepang memulai kekuasaannya pada Maret 1942. Tanpa perlawanan besar, Hindia Belanda segera hengkang, memberikan kekuasaan pada kekuatan besar dalam Perang Dunia II itu.

Upaya yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda sebelum mangkir adalah menghancurkan sebagian sarana ekonomi, seperti rel kereta api dan jembatan.

Politik Beras Jepang

Kedatangan Kekaisaran Jepang tidak selalu menjadi harapan baru. Pada kebijakan pangan, terutama beras, pendudukan Jepang tidak memberikan perubahan apa-apa dari yang sudah ditentukan sejak zaman Hindia Belanda.

"Jika mengenang kembali masa pendudukan Jepang, orang-orang di Jawa hampir dengan suara bulat menyatakan bahwa mereka menderita kelangkaan beras yang parah," terang sejarawan Aiko Kurasawa dalam buku Kemerdekaan Bukan Hadiah Jepang (2023).

"Orang-orang di perkotaan juga sering memberikan kesaksian melihat banyak orang yang mati di jalanan," lanjutnya, merujuk sebagai krisis pangan yang pernah terjadi di Jawa.

Pemerintah Jepang di Jawa abai akan kebutuhan beras sebagai pangan rakyat. Kedatangan mereka bertujuan untuk menguasai sumber daya, baik alam maupun manusia, dan komoditas untuk mendukung kepentingan perang.

Beras dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang utamanya dikonsumsi pekerja paksa (romusha) dan militer. Oleh karena itu pengangkutan beras menjadi prioritas. Namun, dari data yang dikumpulkan Kurasawa, jumlahnya menurun dibandingkan masa kolonialisme Belanda.

Di level masyarakat bawah, para petani dipaksa memberikan padi yang telah panen kepada pemerintah Jepang, ungkap Kurasawa dalam buku "Mobilisasi dan kontrol: studi tentang perubahan sosial di pedesaan Jawa 1942-1945" (1993). Peraturan ini memaksa para petani menjual dengan harga murah dibandingkan harga pasar.

Merasa rugi, tidak sedikit para petani yang pada akhirnya menyembunyikan hasil panen padi. Tindakan ini membuat pejabat daerah berada dalam posisi kritis. Pejabat daerah adalah yang bertanggung jawab dalam pengumpulan padi dan beras dari masyarakat. Mereka juga yang akan disalahkan pemerintah Jepang jika target pengumpulan padi di daerahnya tidak terpenuhi.

Meski pejabat daerah berusaha mengakali target, rupanya pemerintah Jepang tidak pernah mendapat jumlah yang dibutuhkan. Padahal, jumlah padi yang diangkut dari para petani cukup besar. Kesenjangan ini, Kurasawa berpendapat disebabkan oleh "hilangnya atau rusaknya beras yang dikumpulkan saat diangkut ke pemerintah militer".

Permasalahan pangan beras ini juga didorong oleh perubahan sistem pemerintah masa pendudukan Jepang yang berbeda dari pemerintahan Hindia Belanda. Sistem transportasi lebih banyak digunakan untuk kebutuhan militer, termasuk pangannya. Penyebab perubahan ini karena kelangkaan tenaga kerja ahli dan bahan bakar.

Beras yang Tidak Terdistribusi ke Daerah

Sistem pemerintahan membuat komoditas terkonsentrasi di lembaga pusat. Jepang menerapkan politik beras yang direncanakan sejak Agustus 1942. Dari peraturannya, mereka mendirikan pengelola pangan Shokuryo Kanri Zimusyo, Kantor Pengelolaan Pangan yang berada di bawah Departemen Ekonomi Gunseikanbu (kantor pusat pemerintahan militer).

Sementara itu, para petani harus menjual hasil produksinya ke pemerintah melalui pihak penggiling. Pemerintah desa berwenang menentukan pihak penggiling. Petani dilarang menjual hasil panennya ke pihak lain. Dengan demikian, terbentuklah pasar beras ilegal yang semestinya dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan pangan.

Sebuah diorama yang menggambarkan para romusha yang sedang membangun jalur kereta api dalam pengawasan tentara Jepang. Sumatra Barat memiliki riwayat pembangunan rel kereta terkait dengan batu bara. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Daerah hanya mematuhi permintaan target pusat, namun pasokannya berkurang. Dari sini, petaka kelaparan akan muncul di berbagai daerah. Kelaparan ini ditambah dengan kebiasaan masyarakat di Jawa yang sangat bergantung pada beras sebagai makanan pokok. Bahkan, orang Jawa mengenal kalimat "belum bisa disebut makan, jika tanpa nasi".

Berdasarkan data dari Ministerie van Kolonien (Kementerian Koloni Belanda) di National Archief Belanda, angka kematian sangat tinggi antara 1939 dan 1944. Kematian paling banyak terjadi semasa pendudukan Jepang di Jawa. Meski tidak jelas apa penyebabnya, Kurasawa memperkirakan kematian ini berhubungan dengan romusha dan kelaparan.

Kemarahan Petani Indramayu

Tidak selamanya menyerah pada sistem yang menindas, masyarakat yang lapar dan petani yang diperas pada akhirnya melawan. Antara Maret dan Agustus 1944, masyarakat Indramayu melakukan perlawanan yang diprakarsai petani dan para ulama. Pimpinan pemberontakan ini adalah Haji Madrias, Haji Kartiwa, Kyai Abas, dan Kyai Srengseng.

Perlawanan masyarakat Indramayu tersebar di tiga tempat, Lohbener, Sindang , Kaplongan, dan Bugis. 

Penyebab pemberontakan ini disebabkan sistem pungutan padi yang memaksa. Para petani harus menyerahkan kuota tetap per hektar untuk semua sisa padi kepada pemerintah. Hanya jatah konsumsi pangan dan persiapan bibit yang jumlahnya sedikit di tangan petani.

Kondisi kesejahteraan di Jawa sudah sangat memburuk pada 1944. Cirebon Shu (Keresidenan Cirebon) sendiri mengalami kematian 80 jiwa untuk 1.000 penduduk dengan tingkat kelahiran yang lebih rendah.

Pemberontakan ini berdampak pada perubahan sosial dan politik beras Jepang. Khususnya di Indramayu, badan-badan baru bermunculan untuk mengawasi perdagangan beras, setelah selama ini tengkulak dan pedagang yang mengontrol secara buruk sistem pungutan.

Selain itu, Pemberontakan Indramayu mendorong masyarakat yang mulai bergerak untuk menentang sistem pungutan padi Jepang. Pada akhirnya, perlawanan masyarakat terhadap Jepang yang kelak berkontribusi pada kalangan yang mengupayakan kemerdekaan secara mandiri pada 1945.