Kompleks ibu kota Dinasti Ming di Beijing sebenarnya disebut Kota Terlarang Ungu
Pada awal abad ke-15 Kaisar Yongle mengawasi pemindahan ibu kota kekaisaran dari Nanjing ke kota baru di Beijing. Ibu kota Dinasti Ming yang baru dikelilingi oleh tembok sepanjang 24 km dan tinggi 12 meter.
Selain pusat administrasi dengan kantor pejabat pemerintah, di tengah kompleks terdapat istana kekaisaran. Hampir 10.000 kamar di istana hanya dapat dimasuki dengan izin kaisar.
Dikenal dalam bahasa Inggris modern sebagai Kota Terlarang, istilah Tiongkok untuk kota tersebut, “Zijin Cheng,” berarti “Kota Terlarang Ungu”. Nama tersebut merujuk pada warna-warni bukan pada tembok kota, tetapi pada langit malam. “Khususnya konstelasi keunguan dengan bintang utara di pusatnya,” tambah Barksdale. Kaisar ingin meniru konstelasi itu, dengan ibu kota barunya sebagai versi duniawi dari bintang navigasi ini.
Kaisar Ming terakhir digulingkan dalam pemberontakan yang dipimpin oleh seorang mantan pekerja pos
Pada awal abad ke-17, ancaman terbesar terhadap supremasi Ming terletak di timur laut Tembok Besar di Manchuria. Pengeluaran militer untuk menghadapi ancaman Manchu memaksa pemerintahan Ming menaikkan pajak sambil mengabaikan wilayah lain di Tiongkok.
Banyak pekerja yang tidak puas dan kehilangan pekerjaan karena krisis ekonomi. Salah satunya adalah Li Zicheng, seorang kurir pos di Xian. Setelah bertugas sebentar di tentara Kekaisaran Tiongkok, Li bergabung dengan kelompok bandit. Ia menjadi pemimpin pemberontakan petani yang semakin berkembang.
Pada tahun 1644, pasukan Li berhasil merebut Beijing yang nyaris tidak dapat dipertahankan. Ditinggalkan oleh penasihat terdekatnya, kaisar Dinasti Ming terakhir, Chongzhen, gantung diri di pohon di taman kekaisaran. Ironisnya, kemenangan Li mendorong jenderal Ming Wu Sangui untuk pergi ke Manchu. Dengan gabungan kekuatan, Wu Sangui kemudian mengalahkan para pemberontak. Setelah itu, Dinasti Qing pun berkuasa sekaligus menjadi dinasti terakhir di Kekaisaran Tiongkok.