Seperti Apa Palestina di Bawah Pemerintahan Kekaisaran Ottoman?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 26 April 2024 | 18:25 WIB
Kubah Shakhrah di Mustarifat Yerusalem di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman. Palestina menjadi kawasan penting bagi Kekaisaran Ottoman untuk modernisasi Timur Tengah. (Public Domain)

Memasuki abad ke-20, Kekaisaran Ottoman mengalami pergolakan politik. Bangsa Arab di seluruh kawasan Kekaisaran Ottoman mulai menginisiasi gerakan nasionalisme, menghendaki kemerdekaan. Pada masa ini disebut sebagai Kebangkitan bangsa Arab.

Ketika Perang Dunia I pecah, negara-negara Eropa, kecuali Jerman dan Hungaria yang menjadi sekutu Kekaisaran Ottoman, mulai membahas pembagian kekuasaan. Mereka berencana membagi Timur Tengah menjadi milik Inggris, Rusia, Prancis, dan Italia dalam Perjanjian Sykes-Picot (1916).

Foto Masjid Al Aqsa, Yerusalem yang dipotret pada 1880-an. Masjid ini sangat disucikan bagi umat muslim sampai hari ini. Semasa Kekaisaran Ottoman, masjid ini berdampingan secara harmoni di dekat Tembok Ratapan dan Kubah Shakharah. (Bonfils, Félix/Public Domain)

Bangsa Arab menaruh harapan kepada Inggris untuk mendukung gerakan nasionalisme mereka. Arab Palestina yakin, penengah permasalahan Palestina bisa tuntas lewat korespondensi antara Amir Makkah Husain bin Ali dan komisaris Inggris di Mesir Henry McMahon. Korespondensi itu menjanjikan kemerdekaan bangsa Arab yang membantu melawan kekaisaran Ottoman.

Dengan demikian, kekuasaan Kekaisaran Ottoman semakin dipereteli. Inggris, berdasarkan Perjanjian Sykes-Picot, berkuasa di Palestina. Dari sinilah, babak kekacauan Palestina hari ini bermula. Deklarasi Balfour dicanangkan pada 1917 yang mendukung migrasi besar bangsa Yahudi dari Eropa dan AS ke Palestina.

Sejak 1900, mulai banyak bangsa Yahudi dari Eropa bermigrasi ke Palestina. Hal ini sangat ditentang pula oleh bangsa Arab di Palestina. Koloni Zionis semakin berkembang karena subsidi keluarga Rothschild yang sangat tinggi pada 1918. Mayoritas dari Yahudi imigran tinggal di kota, menyebabkan perbedaan kelas sosial dengan orang Arab.

Terlihat di sini bahwa Inggris bermain dua kaki antara pihak Arab dan gerakan Zionisme. Bagaimanapun, para ahli sejarah politik berpendapat bahwa Deklarasi Balfour dimaksudkan agar orang Yahudi Amerika dan Rusia mendorong pemerintah negaranya masing-masing mendukung kebijakan Inggris pascaperang.

Pada 1920, Mandat Britania di Palestina berdiri. Kekaisaran Ottoman runtuh dua tahun berikutnya, diikuti dengan gerakan nasionalisme Turki. Babak konflik tak berkesudahan di Negeri Suci itu dimulai.