Seperti Apa Palestina di Bawah Pemerintahan Kekaisaran Ottoman?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 26 April 2024 | 18:25 WIB
Kubah Shakhrah di Mustarifat Yerusalem di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman. Palestina menjadi kawasan penting bagi Kekaisaran Ottoman untuk modernisasi Timur Tengah. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id - Palestina punya kedudukan istimewa dalam sejarah. Kawasan ini tiada hentinya menjadi tempat perebutan kekuasaan. Sampai hari ini, negeri yang menjadi batas Asia dan Afrika itu masih diwarnai konflik antara Israel dan Palestina.

Narasi sejarah telah menyebutkan konflik awal Israel dan Palestina bermula dari Mandat Britania di Palestina. Daerah mandat ini terbentuk setelah Kekaisaran Ottoman kalah di Perang Dunia I, dan bangsa Arab yang menghendaki kemerdekaan dari bangsa Turki.

Untuk mengetahui seperti apa Palestina pada masa kekuasaan Kekaisaran Ottoman, kita kembali ke Abad Pertengahan. Sejak kemenangan akhir dari Perang Salib pada 1302, Kesultanan Mamluk menjadi penguasa tunggal di Palestina.

Pemerintahan Mamluk mensponsori program sekolah, tempat singgah untuk para peziarah, merenovasi rumah. Akan tetapi, pusat pemerintahan daerah Palestina bukan di Yerusalem. Kekaisaran Mamluk menjadikannya bagian dari distrik Damaskus.

Palestina masih sangat rentan pada 1400-an. Damaskus, ibu kota distrik sering diserang oleh Timur Lenk dari Kekaisaran Mongol Timuriyah yang berkuasa di Persia dan Asia Tengah. Palestina terhindar dari serangan Timur Lenk, namun dampaknya sangat terasa secara perekonomian.

Meski Timur Lenk wafat pada 1405, ancaman terhadap Mamluk justru muncul dari arah barat. Sebuah kekuatan baru muncul menggantikan musuh lama Kekaisaran Mamluk. Kesultanan Rum Seljuk runtuh dan digantikan oleh Kekaisaran Ottoman. Kekaisaran Anatolia itu dikenal hebat, karena berhasil menguasai kawasan Eropa Timur.

Bukan berarti Mamluk adalah kerajaan lemah. Kesultanan Mamluk berhasil melindungi Palestina dari Mongol dan Kekristenan Eropa dalam pelbagai rangkaian Perang Salib.

Sejarah mempertemukan dua kekuatan kerajaan Islam hebat ini pada 1485. Mamluk dipimpin oleh Sayfuddin Qaitbay dan Kekaisaran Ottoman dipimpin Selim I, putra dari Mehmed II.  Kekaisaran Ottoman berhasil menguasai Palestina dari tangan Mamluk, setelah memenangkan Pertempuran Marj Dabiq pada Agustus 1514.

Pemerintahan Kekaisaran Ottoman di Palestina

Awal kekuasaan Kekaisaran Ottoman di Palestina tidak banyak melakukan perubahan. Pusat administrasinya masih berpusat di Damaskus, kemudian mengikuti Acre (sekarang Akko, Israel), dan Sidon yang kini menjadi kota tua di Lebanon.

Kawasan Palestina begitu dilindungi oleh Kekaisaran Ottoman. Ketika Napoleon Bonaperte memulai kampanye menuju Mesir, Kekaisaran Ottoman dengan bantuan Inggris mempertahankan Palestina pada 1799.

Keberhasilan Kekaisaran Ottoman dan Inggris menghalangi Napoleon ini membuat Mesir mengambil peran di Palestina. Saat itu, otoritas yang sangat berperan adalah Muhammad Ali Pasha, raja muda Mesir yang berkuasa hingga Sudan.

Pada 1831, Muhammad Ali Pasha menduduki Palestina yang saat itu sudah berpusat administrasi di Acre. Dia bersama putranya, Ibrahim Pasha, memodernisasi pemerintahannya dengan membuka negara bagian itu dengan pengaruh Barat. Proses modernisasi ini juga didorong oleh reformasi yang dilakukan oleh Sultan Ottoman Mahmud II (berkuasa 1808-1839).

Keterbukaan ini membuat Palestina semakin menjadi tempat modern yang majemuk. Berbagai misionaris Kristen dapat beraktivitas dengan lebih mudah, termasuk mendirikan sekolah.

Namun, penguasaan Muhammad Ali sebagai Pasha provinsi otonom Kekaisaran Ottoman ini sangat besar, seperti mendirikan negara sendiri. Pengaruhnya yang semakin meningkat ini mendorong Mesir memberontak untuk menyingkirkan kuasa Kekaisaran Ottoman.

Pemerintah Kekaisaran Ottoman, di bawah Sultan Abdul Majid, bersama Inggris, Austria, dan Rusia memaksa mundur Mesir pada 1840. Perlawanan ini membuat Pasha Mesir kembali pada otoritasnya di Mesir dan Sudan, sementara Palestina dikelola langsung dari Konstantinopel.

Reformasi Ottoman

Hasil dari Mesir-Ottoman membuat negara-negara Eropa menaruh minat di Palestina. Banyak negara yang membuka konsulatnya di Yerusalem dan kota-kota pelabuhan Palestina.

Pada tahun yang sama dengan pengembalian Palestina ke pangkuan Kekaisaran Ottoman, Sultan Abdul Majid menerapkan reformasi yang bertahap berlaku di Palestina. Dia meningkatkan keamanan di desa.

Reformasi ini mewujudkan Undang-Undang Pertanahan pada 1858. Undang-undang ini mendorong kepemilikan pribadi, produksi pertanian, pengurangan peranan organisasi berdasarkan kesukuan, dan meningkatkan pertumbuhan populasi.

Sekelompok wanita Arab tengah minum kopi bersama di Bethlehem, Yerusalem semasa Kekaisaran Ottoman. (Photochrom Co./The Palestine Exploration Fund/Flickr)

Kelak, inilah yang menyebabkan pendirian zionisme untuk menguasai Palestina. Kepemilikan lahan pribadi ini nantinya dimanfaatkan organisasi zionisme sebagai wacana pendirian negara Yahudi pada 1896. Pemukiman Yahudi sangat berkembang pada 1882 oleh kalangan Yahudi Rusia.

Kekaisaran Ottoman baru matang dalam pembagian administrasinya pada 1888. Kawasan Palestina dibagi menjadi tiga distrik, yakni Distrik Nablus, Acre, dan Yerusalem. Nablus dan Acre, secara administrasi berada di bawah Ilayet (provinsi) Beirut, sedangkan Yerusalem berjalan secara otonom di bawah mandat dari Konstantinopel.

Kebangkitan bangsa Arab dan Zionisme

Memasuki abad ke-20, Kekaisaran Ottoman mengalami pergolakan politik. Bangsa Arab di seluruh kawasan Kekaisaran Ottoman mulai menginisiasi gerakan nasionalisme, menghendaki kemerdekaan. Pada masa ini disebut sebagai Kebangkitan bangsa Arab.

Ketika Perang Dunia I pecah, negara-negara Eropa, kecuali Jerman dan Hungaria yang menjadi sekutu Kekaisaran Ottoman, mulai membahas pembagian kekuasaan. Mereka berencana membagi Timur Tengah menjadi milik Inggris, Rusia, Prancis, dan Italia dalam Perjanjian Sykes-Picot (1916).

Foto Masjid Al Aqsa, Yerusalem yang dipotret pada 1880-an. Masjid ini sangat disucikan bagi umat muslim sampai hari ini. Semasa Kekaisaran Ottoman, masjid ini berdampingan secara harmoni di dekat Tembok Ratapan dan Kubah Shakharah. (Bonfils, Félix/Public Domain)

Bangsa Arab menaruh harapan kepada Inggris untuk mendukung gerakan nasionalisme mereka. Arab Palestina yakin, penengah permasalahan Palestina bisa tuntas lewat korespondensi antara Amir Makkah Husain bin Ali dan komisaris Inggris di Mesir Henry McMahon. Korespondensi itu menjanjikan kemerdekaan bangsa Arab yang membantu melawan kekaisaran Ottoman.

Dengan demikian, kekuasaan Kekaisaran Ottoman semakin dipereteli. Inggris, berdasarkan Perjanjian Sykes-Picot, berkuasa di Palestina. Dari sinilah, babak kekacauan Palestina hari ini bermula. Deklarasi Balfour dicanangkan pada 1917 yang mendukung migrasi besar bangsa Yahudi dari Eropa dan AS ke Palestina.

Sejak 1900, mulai banyak bangsa Yahudi dari Eropa bermigrasi ke Palestina. Hal ini sangat ditentang pula oleh bangsa Arab di Palestina. Koloni Zionis semakin berkembang karena subsidi keluarga Rothschild yang sangat tinggi pada 1918. Mayoritas dari Yahudi imigran tinggal di kota, menyebabkan perbedaan kelas sosial dengan orang Arab.

Terlihat di sini bahwa Inggris bermain dua kaki antara pihak Arab dan gerakan Zionisme. Bagaimanapun, para ahli sejarah politik berpendapat bahwa Deklarasi Balfour dimaksudkan agar orang Yahudi Amerika dan Rusia mendorong pemerintah negaranya masing-masing mendukung kebijakan Inggris pascaperang.

Pada 1920, Mandat Britania di Palestina berdiri. Kekaisaran Ottoman runtuh dua tahun berikutnya, diikuti dengan gerakan nasionalisme Turki. Babak konflik tak berkesudahan di Negeri Suci itu dimulai.