Kenaikan Muka Laut Pesisir Utara Jawa, Agama Jadi Landasan Adaptasi Warga Desa Pantai Bahagia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 29 Mei 2024 | 18:00 WIB
Dusun Muara Beting, Desa Pantai Bahagia, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat kehilangan tanah dengan sangat cepat akibat abrasi. Penyebabnya adalah perubahan masif ekologi pada 1970-1980-an akibat pertumbuhan penduduk. Proses adaptasi masyarakat berdasarkan kegiatan keagamaan. (Aliyuna Pratisti)

Baca Juga: Bagaimana Agama Memengaruhi Pandangan Hubungan Manusia dan Alam?

Tenggelamnya pemukiman di Dusun Muara Beting membuat penduduk banyak yang berpindah ke dusun atau desa sekitar. Sebagian masyarakat yang kini berstatus penerima PKH enggan berpindah karena "kalau alamat mereka pindah, mereka takut tidak mendapat bantuan bulanan lagi [dari pemerintah]," kata salah satu narasumber Aliyuna.

Para nelayan pun hidup nestapa karena tangkapan harian mereka dijual ke Cilincing, Jakarta Utara, berdasarkan harga yang ditentukan pengepul. Ketika musim hujan tiba, petaka datang bagi masyarakat nelayan yang rumahnya kebanjiran, dan hewan tangkapan seperti udang dan kepiting yang sulit ditangkap.

"Jalan dari Cilincing ke Beting itu satu jam menggunakan perahu," terang Aliyuna. "Bisa kalau lewat jalur darat. Cuma dirasa tidak masuk akal bagi mereka, karena memakan waktu sampai tujuh jam."

Kekuatan Tawakal Desa Pantai Bahagia

Bagi generasi pertama di Dusun Muara Beting, bencana abrasi dan tenggelamnya lahan pemukiman sudah menjadi kehendak Tuhan (Qadarullah). Keadaan mereka tidak bisa diperbaiki lagi, dan hanya bisa pasrah. Dalam spiritualitas agama Islam, kepasrahan dan menyerahkan diri kepada Tuhan disebut dengan tawakal.

Lain halnya dengan generasi kedua. Tawakal bagi mereka adalah berusaha untuk menyelamatkan tempat mereka tinggal. Generasi kedua, yakni generasi X dan milenial, menyadari kebencanaan di lingkungan tempat tinggalnya disebabkan kerusakan ekologi mangrove untuk lahan tambak oleh orang tua mereka.

"Aktivisme yang mereka lakukan, mereka anggap secara spiritual sebagai 'menebus dosa' orang tua mereka," ujar Aliyuna. "Berbeda dengan generasi pertama, tawakal diartikan mereka dengan harus ditambahkan dengan upaya. Setelah upaya, baru menyerahkan semua urusannya kepada Tuhan."

Masjid di Desa Muara Beting yang ditinggikan agar tidak terkena banjir rob dan tenggelam oleh air laut yang terus naik. Upaya masyarakat ini merupakan adaptasi atas krisis lingkungan yang melanda. (Aliyuna Pratisti)

Pada 2013, sekelompok pemuda mulai menggiatkan penanaman mangrove di pinggir pantai secara mandiri. Para pemuda ini tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Alipbata.

Kelompok ini berdiri atas inisiasi oleh tiga orang generasi kedua Desa Pantai Bahagia, salah satunya adalah Sonhaji yang kini menjadi ketuanya. Awalnya, banyak masyarakat yang menolak aktivisme mereka karena dianggap tidak punya manfaat. Kegiatan mereka, bahkan, dianggap mengambil lahan tambak masyarakat.

Hal itu tidak menyurutkan upaya mereka. Sejak 2017, Alipbata telah menanam sekitar 20.000 pohon mangrove. Upaya mereka mulai disorot oleh pelbagai pihak, mulai dari organisasi nonprofit di bidang lingkungan sampai perusahaan yang memiliki program CSR (tanggung jawab sosial perusahaan).