Kenaikan Muka Laut Pesisir Utara Jawa, Agama Jadi Landasan Adaptasi Warga Desa Pantai Bahagia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 29 Mei 2024 | 18:00 WIB
Dusun Muara Beting, Desa Pantai Bahagia, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat kehilangan tanah dengan sangat cepat akibat abrasi. Penyebabnya adalah perubahan masif ekologi pada 1970-1980-an akibat pertumbuhan penduduk. Proses adaptasi masyarakat berdasarkan kegiatan keagamaan. (Aliyuna Pratisti)

Atas semangat yang dilakukan Alipbata, masyarakat mendukung dan terlibat. Sampai pada 2022, setidaknya sudah 40 hektare lahan telah ditanami ulang dengan mangrove. Mereka berencana untuk memperluas tanaman mangrove hingga Dusun Balubuk, tetangga Dusun Muara Beting.

Baca Juga: Habib Husein Ja'far: Islam Mengajarkan Konservasi Alam Sejak Lama

Kerja sama antara Alifbata dan berbagai lembaga, menjadikan Desa Pantai Bahagia menjadi tempat wisata mangrove. Aliyuna menyoroti bagaimana manfaat sangat dirasakan masyarakat, yakni dengan menjual bibit mangrove dan membuka UMKM yang sering ramai dikunjungi pengunjung. Nelayan pun dapat menjual hasil lautnya langsung ke pembeli, tanpa lagi harus melalui pengepul.

Pengajian Agama yang Menyelamatkan

Masyarakat yang tersisa di tengah gempuran abrasi di Desa Pantai Bahagia selalu beradaptasi dengan meninggikan rumah secara keseluruhan. Tidak semua punya biaya untuk meninggikan rumah, terang Aliyuna. Langkah lain yang dilakukan masyarakat adalah meninggikan bagian-bagian tertentu agar air laut tidak merusak perabotan penting di rumah, seperti pada celah pintu atau meninggikan posisi kompor.

Bagaimanapun, kondisi mereka telah terisolasi di tengah laut yang baru. Aliyuna mengungkapkan, satu-satunya yang menjadi penghubung masyarakat adalah dengan adanya pengajian mingguan. Masyarakat yang telah berpindah pun menghadiri pengajian mingguan yang sama dengan penduduk tersisa.

Kaum ibu-ibu Dusun Muara Beting, Desa Pantai Bahagia membuat bahan makanan sebagai cenderamata aktivitas wisata ekologi mangrove. Aktivisme mangrove memberi peluang ekonomi bagi masyarakat yang terdampak kebencanaan. (Aliyuna Pratisti)

Setiap minggunya, pengajian diadakan di Dusun Muara Beting pada waktu-waktu tertentu berdasarkan musim. Ketika musim kemarau, pengajian diadakan pagi karena biasanya banjir biasanya terjadi pada sore. Sebaliknya, ketika musim hujan, pengajian baru diadakan sore hari karena banjir dari laut menerjang pada pagi harinya.

"Di sana [Dusun Muara Beting] susah sinyal. Forum pengajian yang jadi akses informasi mereka kalau ada yang mengadakan pernikahan, ada yang sakit, atau ada yang meninggal. Jadi, pengajian mingguan ini membuat mereka tetap saling terhubung," jelas Aliyuna.

Salah satu yang mendapatkan manfaat adanya pengajian mingguan adalah Mak Enih yang telah berusia senja. Dia tinggal di Dusun Muara Beting dan hanya dapat dikunjungi menggunakan perahu di Sungai Beting--cabang dari Sungai Citarum. "Berkat pengajian, dia dapat akses informasi pengajian. Kalau sakit, teman-teman pengajian bakal datang."

Dalam disertasinya, faktor keagamaan mungkin tidak berperan langsung dalam proses adaptasi, namun pengajian sangat berkontribusi memberikan rasa aman dan keterhubungan sosial.

Selain menjadi disertasi, penelitian ini dipublikasikan dalam bentuk makalah di Jurnal Masyarakat Budaya terbit pada 2023. Makalah tersebut bertajuk "Dimensi Keagamaan dalam Migrasi Lingkungan: Studi Kasus Dua Komunitas Muslim Pesisir Utara Jawa".

Hasil temuannya juga dipaparkan dalam bincang Wednesday Forum oleh Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gadjah Mada pada 8 Mei 2024, bertajuk "Making Sense of Religion in Adaptation Processes: Narrating Muslims' Responses to Coastal Abrasion on the North Coast of Java".