Kenaikan Muka Laut Pesisir Utara Jawa, Agama Jadi Landasan Adaptasi Warga Desa Pantai Bahagia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 29 Mei 2024 | 18:00 WIB
Dusun Muara Beting, Desa Pantai Bahagia, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat kehilangan tanah dengan sangat cepat akibat abrasi. Penyebabnya adalah perubahan masif ekologi pada 1970-1980-an akibat pertumbuhan penduduk. Proses adaptasi masyarakat berdasarkan kegiatan keagamaan. (Aliyuna Pratisti)

Nationalgeographic.co.id—Permukaan air laut masuk ke daratan dan memakan kawasan pemukim di berbagai tempat di pesisir utara Jawa. Ada banyak penyebabnya, mulai dari pembangunan tidak terkendali, struktur tanah, sampai perubahan iklim.

Bencana ini sangat dirasakan oleh penduduk pesisir yang mendorong mereka harus beradaptasi, mempertahankan tempat tinggal dan sumber hajat hidupnya. Sebagai langkah adaptasi, agama Islam menjadi salah satu landasan masyarakat pesisir di Desa Pantai Bahagia, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Hal itu disingkap dalam penelitian Kajian Lintas Agama (ICRS), Universitas Gadjah Mada yang dipublikasikan tahun ini. Penelitian itu dipimpin oleh Siti Aliyuna Pratisti yang merupakan disertasinya. Selama setahun sejak 2021, dia berkunjung ke desa tersebut, berjumpa dengan penduduk untuk mengetahui proses adaptasinya.

Pada tahap awal abrasi, terang Aliyuna, agama berfungsi sebagai mekanisme koping (copying mechanism). Bencana yang terasa membuat masyarakat lebih banyak mengamalkan ibadah seperti doa dan zikir untuk memohon keselamatan. Mereka juga berupaya menenangkan diri dari stres atas kehilangan properti dengan meminum air berkah dari pemimpin agama lokal.

"Agama sebagai mekanisme coping memberikan “perisai” atau “kekuatan” perlindungan dari stressor," kata Aliyuna.

Rayuan "Kampung Dolar" yang Jadi Awal Petaka

Sebelum 1960-an, tidak ada apa-apa di Desa Pantai Bahagia selain hutan dan mangrove. Menurut keterangan warga dalam studi, kawasan ini mulai dihuni oleh masyarakat Nahdlatul Ulama dari Banten, sebagai upaya menyelamatkan diri dari intrik politik 1965.

Pertumbuhan penduduk desa ini semakin pesat pada akhir 1970-an karena hasil lautnya yang melimpah. Desa Pantai Bahagia kemudian secara resmi berdiri sebagai administrasi baru di Kabupaten Bekasi pada 1984.

Perubahan lahan Desa Pantai Bahagia, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sebagian dari masyarakat berpindah. Bagi yang memilih menetap, beradaptasi dengan bersandar pada kegiatan keagamaan. (Aliyuna Pratisti)

"Orang-orang dulu pasti ingat dengan Kampung Dolar. Desa Pantai Bahagia ini yang dulunya dikenal sebagai Kampung Dolar karena penduduknya makmur, sehingga banyak orang yang akhirnya datang untuk tinggal dan buka lahan," kata Aliyuna.

Konversi lahan ini sangat besar, memosisikan pantai sangat rentan dengan abrasi. Sejak 2000-an, permukaan air laut mulai menggerus pantai, dan memasuki kawasan pemukiman pada 2020. Lahan desa yang tenggelam pada 2022 telah mencapai 1.066 hektare dengan Dusun Muara Beting yang paling cepat kehilangan lahan seluas 600 hektare.

Karena lahan tambak mereka tenggelam, hari ini kebanyakan warga Desa Pantai Bahagia hidup miskin dan jadi penerima bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH).

Baca Juga: Bagaimana Agama Memengaruhi Pandangan Hubungan Manusia dan Alam?

Tenggelamnya pemukiman di Dusun Muara Beting membuat penduduk banyak yang berpindah ke dusun atau desa sekitar. Sebagian masyarakat yang kini berstatus penerima PKH enggan berpindah karena "kalau alamat mereka pindah, mereka takut tidak mendapat bantuan bulanan lagi [dari pemerintah]," kata salah satu narasumber Aliyuna.

Para nelayan pun hidup nestapa karena tangkapan harian mereka dijual ke Cilincing, Jakarta Utara, berdasarkan harga yang ditentukan pengepul. Ketika musim hujan tiba, petaka datang bagi masyarakat nelayan yang rumahnya kebanjiran, dan hewan tangkapan seperti udang dan kepiting yang sulit ditangkap.

"Jalan dari Cilincing ke Beting itu satu jam menggunakan perahu," terang Aliyuna. "Bisa kalau lewat jalur darat. Cuma dirasa tidak masuk akal bagi mereka, karena memakan waktu sampai tujuh jam."

Kekuatan Tawakal Desa Pantai Bahagia

Bagi generasi pertama di Dusun Muara Beting, bencana abrasi dan tenggelamnya lahan pemukiman sudah menjadi kehendak Tuhan (Qadarullah). Keadaan mereka tidak bisa diperbaiki lagi, dan hanya bisa pasrah. Dalam spiritualitas agama Islam, kepasrahan dan menyerahkan diri kepada Tuhan disebut dengan tawakal.

Lain halnya dengan generasi kedua. Tawakal bagi mereka adalah berusaha untuk menyelamatkan tempat mereka tinggal. Generasi kedua, yakni generasi X dan milenial, menyadari kebencanaan di lingkungan tempat tinggalnya disebabkan kerusakan ekologi mangrove untuk lahan tambak oleh orang tua mereka.

"Aktivisme yang mereka lakukan, mereka anggap secara spiritual sebagai 'menebus dosa' orang tua mereka," ujar Aliyuna. "Berbeda dengan generasi pertama, tawakal diartikan mereka dengan harus ditambahkan dengan upaya. Setelah upaya, baru menyerahkan semua urusannya kepada Tuhan."

Masjid di Desa Muara Beting yang ditinggikan agar tidak terkena banjir rob dan tenggelam oleh air laut yang terus naik. Upaya masyarakat ini merupakan adaptasi atas krisis lingkungan yang melanda. (Aliyuna Pratisti)

Pada 2013, sekelompok pemuda mulai menggiatkan penanaman mangrove di pinggir pantai secara mandiri. Para pemuda ini tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Alipbata.

Kelompok ini berdiri atas inisiasi oleh tiga orang generasi kedua Desa Pantai Bahagia, salah satunya adalah Sonhaji yang kini menjadi ketuanya. Awalnya, banyak masyarakat yang menolak aktivisme mereka karena dianggap tidak punya manfaat. Kegiatan mereka, bahkan, dianggap mengambil lahan tambak masyarakat.

Hal itu tidak menyurutkan upaya mereka. Sejak 2017, Alipbata telah menanam sekitar 20.000 pohon mangrove. Upaya mereka mulai disorot oleh pelbagai pihak, mulai dari organisasi nonprofit di bidang lingkungan sampai perusahaan yang memiliki program CSR (tanggung jawab sosial perusahaan).

Atas semangat yang dilakukan Alipbata, masyarakat mendukung dan terlibat. Sampai pada 2022, setidaknya sudah 40 hektare lahan telah ditanami ulang dengan mangrove. Mereka berencana untuk memperluas tanaman mangrove hingga Dusun Balubuk, tetangga Dusun Muara Beting.

Baca Juga: Habib Husein Ja'far: Islam Mengajarkan Konservasi Alam Sejak Lama

Kerja sama antara Alifbata dan berbagai lembaga, menjadikan Desa Pantai Bahagia menjadi tempat wisata mangrove. Aliyuna menyoroti bagaimana manfaat sangat dirasakan masyarakat, yakni dengan menjual bibit mangrove dan membuka UMKM yang sering ramai dikunjungi pengunjung. Nelayan pun dapat menjual hasil lautnya langsung ke pembeli, tanpa lagi harus melalui pengepul.

Pengajian Agama yang Menyelamatkan

Masyarakat yang tersisa di tengah gempuran abrasi di Desa Pantai Bahagia selalu beradaptasi dengan meninggikan rumah secara keseluruhan. Tidak semua punya biaya untuk meninggikan rumah, terang Aliyuna. Langkah lain yang dilakukan masyarakat adalah meninggikan bagian-bagian tertentu agar air laut tidak merusak perabotan penting di rumah, seperti pada celah pintu atau meninggikan posisi kompor.

Bagaimanapun, kondisi mereka telah terisolasi di tengah laut yang baru. Aliyuna mengungkapkan, satu-satunya yang menjadi penghubung masyarakat adalah dengan adanya pengajian mingguan. Masyarakat yang telah berpindah pun menghadiri pengajian mingguan yang sama dengan penduduk tersisa.

Kaum ibu-ibu Dusun Muara Beting, Desa Pantai Bahagia membuat bahan makanan sebagai cenderamata aktivitas wisata ekologi mangrove. Aktivisme mangrove memberi peluang ekonomi bagi masyarakat yang terdampak kebencanaan. (Aliyuna Pratisti)

Setiap minggunya, pengajian diadakan di Dusun Muara Beting pada waktu-waktu tertentu berdasarkan musim. Ketika musim kemarau, pengajian diadakan pagi karena biasanya banjir biasanya terjadi pada sore. Sebaliknya, ketika musim hujan, pengajian baru diadakan sore hari karena banjir dari laut menerjang pada pagi harinya.

"Di sana [Dusun Muara Beting] susah sinyal. Forum pengajian yang jadi akses informasi mereka kalau ada yang mengadakan pernikahan, ada yang sakit, atau ada yang meninggal. Jadi, pengajian mingguan ini membuat mereka tetap saling terhubung," jelas Aliyuna.

Salah satu yang mendapatkan manfaat adanya pengajian mingguan adalah Mak Enih yang telah berusia senja. Dia tinggal di Dusun Muara Beting dan hanya dapat dikunjungi menggunakan perahu di Sungai Beting--cabang dari Sungai Citarum. "Berkat pengajian, dia dapat akses informasi pengajian. Kalau sakit, teman-teman pengajian bakal datang."

Dalam disertasinya, faktor keagamaan mungkin tidak berperan langsung dalam proses adaptasi, namun pengajian sangat berkontribusi memberikan rasa aman dan keterhubungan sosial.

Selain menjadi disertasi, penelitian ini dipublikasikan dalam bentuk makalah di Jurnal Masyarakat Budaya terbit pada 2023. Makalah tersebut bertajuk "Dimensi Keagamaan dalam Migrasi Lingkungan: Studi Kasus Dua Komunitas Muslim Pesisir Utara Jawa".

Hasil temuannya juga dipaparkan dalam bincang Wednesday Forum oleh Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gadjah Mada pada 8 Mei 2024, bertajuk "Making Sense of Religion in Adaptation Processes: Narrating Muslims' Responses to Coastal Abrasion on the North Coast of Java".