Apakah Perhutanan Sosial Mampu Menjaga Hutan?

By National Geographic Indonesia, Jumat, 10 Mei 2024 | 16:00 WIB
Handil, demikina warga setempat menyebut sungai kecil, menjadi batas ladang di Pulang Pisau. Handil juga berfungsi sebagai tempat mencari ikan dan jalur transportasi. (Titik Kartitiani)

Perhutanan Sosial (PS) hadir atas harapan akan banyak permasalahan yang mendera kelestarian hutan. Jalan tengah antara kepentingan konservasi dan ekonomi masyarakat yang mengakses hutan. Dalam pelaksanaanya, jalan panjang itu berkelok antara asa, regulasi, dan implementasi. Benarkah PS mampu menjaga fungsi hutan—bukan hanya terkait ekonomi, tetapi juga kehidupan yang lebih luas?

   

Oleh Titik Kartitiani

  

Nationalgeographic.co.id—Amir Rohimat mengendarai sepeda motor melewati jalan setapak ke perbukitan. Hamparan ilalang tanpa tegakan di tepiannya. Kemudian mulai melewati tegakan kopi yang terawat dan telah lewat masa panen pada September silam. Setelah memarkir sepeda motornya, ia menunjukkan hamparan di seberang bukit.

“Dulu di hutan itu semuanya rumput gitu. Ada kaso sama ilalang, kaso itu hampir sama tebu,” kata Amir. Ia merupakan petani kopi Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Garut, Jawa Barat,

Kawasan ini bekas wilayah konsesi PT. Perhutani. Usai diambil kayunya, lahan tak ternanami sehingga hanya menyisakan ilalang yang mudah terbakar. Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) terakhir yang mendera kawasan Gunung Rakutak, termasuk Desa Laksana terjadi pada tahun 2017, sekitar 10ha terbakar pada musim kemarau yang ganas.

Hal senada juga diungkapkan oleh oleh Karlin, Ketua LPHD (Lembaga Pengelolaan Hutan Desa) Buntoi, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau juga mencemaskana adanya karhutla. Kawasan yang diajukan izin PS merupakan kawasan hutan lindung. Jika hutan lindung tidak terjaga dan terbakar, bisa merembet ke ladang karet milik desa.

“Kalau hutan gambut sudah terbakar, kita cemas kebakaran itu merembet ke kebun karet kami,” kata Karlin. Kawasan Pulang Pisau, termasuk Buntoi, didominasi oleh gambut dalam. Bila lahan gambut terbakar, pemadamannya sangat sulit sehingga sulit dibendung untuk tidak melahap ladang milik warga. Jika ladang karet mereka terbakar, butuh waktu minimal 6 tahun untuk bisa memulihkan kembali. Menanam karet hingga siap diambil getahnya.

“Kalau hutan sudah terbakar, sulit untuk diceritakan. Mengerikan sekali. Kalau sudah parah, kami hanya menjaga agar tidak masuk ke ladang dan permukiman,” kata Dodi Prayoga, Masyarakat Peduli Api, Desa Buntoi.

Kisah karhutla di Kalimantan Tengah sempat menjadi bencana nasional pada 2015. Sekitar 90.000 hektare terbakar. Menurut data penelitian IPB melalui citra satelit, karhutla di Pulang Pisau pada tahun itu didominasi tingkat keparahan tinggi, yaitu 70,18 persen (63.175 hektare). Sisanya tingkat keparahan sedang yaitu 13.775 hektare (15,30 persen) dan tingkat keparahan rendah yaitu 13.069 hektare (14,52 persen) dari total luas area terbakar.

Baca Juga: Ketika Hutan Sumatra Menjelma Perkebunan, Bagaimana Nasib Jaring Makanan?