Faktor alam kerap dituduh sebagai penyebat karhutla. Data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat, 99 persen penyebab karhutla adalah manusia. Hanya 1 persen yang disebabkan oleh alam.
Karhutla merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan. Penyebab lain berupa catatan panjang tentang alih fungsi hutan baik secara legal dan ilegal. Di sinilah muncul konflik tenurial di kawasan hutan.
Konflik Kepentingan dan Cara Pandang Tentang Hutan
Mobil MPV yang menemani saya menuju Desa Dano, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat sempat terjepit di sebuah tanjakan tajam.
Hal itu belum seberapa. Trek selebar setengah meter yang saya lalui bersama Asep Amas, warga Desa Dano dan mantan logger lebih menanjak dan menikung tajam. Rasanya trek ini bukan untuk dilalui sepeda motor. Namun Asep mengendalikan kendaraan itu dengan santai.
Roda sepeda motor bebek yang dimodifikasi dengan lilitan rantai mencengkeram dengan baik tanah yang berdebu. Ia biasa memuat 2-3 kuintal kopi dengan sepeda motor ini. Jadi kalau hanya “memuat” saya yang hanya 45kg, sangat ringan. Lebih dulu lagi, ia biasa memuat kayu puluhan kubik sambil kejar-kejaran dengan Polisi Hutan (Polhut). Asep memang sudah menyatu dengan setiap inchi hutan itu.
Hutan adalah tempat bergantung hidup bagi Asep dan sebagian besar warga Desa Dano secara turun temurun. Ketika hutan tersebut termasuk wilayah pengelolaan PT. Perhutani Unit III KPH Garut, berbagai skema kerjasama dengan masyarakat dibentuk. Salah satunya, Asep diminta untuk membantu penanaman pinus dan akan dijanjikan menjadi petugas mandor. Namun bertahun kemudian, janji itu tidak terwujud.
“Nah, muncul di hati saya kalau saya enggak diangkat jadi petugas, saya bakal ngancurin di hutan,” kenang Asep. Atas dasar kekecewaan dan kebutuhan hidup, Asep pun menjarah kayu milik PT. Perhutani. Bukan sekali ia ditangkap Polhut. Kadang tertangkap, seringkali tidak tertangkap. Asep sangat lihai meniti rantai bisnis kayu ini. Mulai dari penebangan kayu pinus, pengangukatan, bernegosiasi dengan perusahaan kayu yang menadah kayu curian tersebut.
Dampaknya bukan hanya kerugian dari perusahaan bila dilihat dari aturan pengelolaan, namun juga kerusakan hutan. Lahan tersebut akan terbuka dan rawan terjadi kebakaran. Menurut data dari laman Perhutani, kawasan hutan KPH Garut dibagi dalam dua kelas perusahaan yaitu kelas perusahaan jati seluas 6.537,58 hektare dan kelas perusahaan pinus seluas 74.996,81 hektare.
Tak hanya pencurian kayu, alih fungsi hutan menjadi ladang sayur menjadi ancaman kerusakan hutan dan konflik tenurial masyarakat pinggiran hutan. Keterbatasan staf Perhutani untuk mengawasi kawasan menjadikan perambahan ini tak terpantau.
“Sebenarnya dari awal, dari orang tua dulu udah berkebun di hutan. Cuma waktu dulu kan belum ada sistem kelembagaan. Tapi sebenarnya petak umpet,” kata Dede Rahmad, ketua KTH Desa Dano. Para petani ini menggarap hutan dengan sembunyi-sembunyi. Bila ada petugas PT. Perhutani, mereka kabur. Tak jarang juga sering ditangkap.