Di Lombok Barat, konsep agroforestri sudah dilakukan sejak belum ada izin PS. Mereka biasa menanam pohon khususnya pohon buah bersama dengan palawija sehingga tidak monokultur.
“Dulu orang tua kami dikejar-kejar petugas. Tahun 1990-an, orang tua kami sudah menanam durian dan aneka tanaman buah,” kenang Munzir. Kondisi panen di ladang yang tidak menentu mengakibatkan masyarakat masuk ke dalam hutan untuk bercocok tanam, mengganti hutan primer menjadi tanaman yang bisa dipanen buahnya. Mereka menanam durian dengan menyebar biji ke dalam hutan setelah menjarangkan pohon-pohon hutan.
“Waktu itu belum ada izin, bapak saya sudah membawa biji-biji durian masuk hutan. Karena ketakutan, ya disebar begitu saja. Lalu bawa biji-biji palawija, kacang-kacangan,” kata Munzir.
Durian panen biasanya pada akhir tahun hingga Januari. Ia menunjukkan beberapa karung durian yang dihasilkan dari penanaman tanpa izin pada tahun 1990-an. Durian dan aren menjadi tumpuan ekonomi masyarakat desa ini.
Namun kondisi hutan di Nusa Tenggara Barat sedang tidak baik-baik saja. Data dari BRIN, perluasan pertanian menyebabkan deforestasi yang signifikan di Indonesia—bahkan negeri kita menempati posisi ketiga dunia. Salah satu perluasan pertanian itu berada di Nusa Tenggara Barat dengan luas lahan 8.000 hektare pada 2013-2020.
Tak hanya itu, sektor pertambangan, pengembangan destinasi wisata dan pembangunan infrakstruktur semakin mengurangi luasan hutan di Nusa Tenggara Barat.
Kendati provinsi ini menjadi daerah percontohan dalam pelestarian melalui Program NTB Hijau, WALHI menyatakan bahwa laju kerusakan hutan di kawasan ini mencapai 60 persen dari total kawasan hutannya.
—Kisah ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund - Pulitzer Center.