Kuak Pendidikan Sekolah Dokter Djawa di Hari Kebangkitan Nasional

By Galih Pranata, Senin, 20 Mei 2024 | 11:00 WIB
Foto pelajaran anatomi memperlihatkan pakaian siswa berbeda-beda dengan bertelanjang kaki. Para calon dokter Djawa inilah yang kemudian menjadi bagian penting dari embrio lahirnya perjuangan kebangsaan hingga dikenang Hari Kebangkitan Nasional. (KIT Collectie)

Nationalgeographic.co.id—'Dokter Djawa' merupakan sebuah gelar yang disematkan bagi para lulusan Sekolah Dokter Djawa (sebelum 1898), sebelum akhirnya pendidikan dokter berubah namanya menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Aartsen (STOVIA).

Para siswa ini merupakan kaum bumiputera terdidik dengan jenjang pendidikan tertinggi di seluruh daratan Hindia. Di titik inilah, para pemuka intelektual memercik api perjuangan kebangsaan.

Kini, perjuangan para dokter dan calon dokter STOVIA itu dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional, seusai dengan hari lahirnya organisasi modern pertama di Hindia bernama Boedi Oetomo.

Namun, jauh sebelum embrio perjuangan pengorganisasian modern tumbuh dari genggam tangan para dokter dan calon dokter, para dokter Djawa mengalami fase-fase tumbuh dan menyemai.

Pendidikan dokter bagi inlanders (pribumi) yang bermula pada Januari 1851. Sebuah Sekolah Dokter bagi pribumi di buka di Rumah Sakit Militer Weltevreden (sekarang bagian dari kecamatan Sawah Besar, Gambir, Senen dan Menteng).

E.Q. Hesselink mengisahkan dalam bukunya berjudul Genezers op de koloniale markt: inheemse dokters en vroedvrouwen in Nederlandsch Oost-Indië, 1850-1915 (2009), bahwa di awal perintisan Sekolah Dokter Djawa, masih terjadi banyak polemik.

Pertama, penurunan usia siswanya. Semula, sekolah ini menerapkan calon siswa di usia 14-18 tahun. Namun, kemudian diturunkan menjadi usia 12-14 tahun dengan alasan jika usia yang lebih muda akan lebih mampu mempelajari bahasa Belanda.

Ya, polemik ini muncul di tahun 1878 akibat kurikulum yang mewajibkan penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi dan berlaku dalam pendidikan Sekolah Dokter Djawa, menggantikan bahasa Melayu.

Lebih-lebih, penertiban penggunaan bahasa Belanda di lingkungan pendidikan menjadi diperketat di tahun 1885. "Siswa diharuskan berbicara bahasa Belanda di luar jam sekolah," imbuh Hesselink.

Pada tahun 1879, para kepala pemerintahan daerah diminta dengan tegas untuk mencalonkan calon-calon siswa mereka yang sudah bisa membaca, menulis dan berbicara bahasa Belanda.

"Ketika ternyata para siswa ini lebih unggul dari yang lain, maka pada tahun 1889 diputuskan untuk hanya menerima mereka yang sudah bisa membaca, menulis dan berbicara bahasa Belanda," sambungnya.

Baca Juga: Riwayat Benteng-Benteng Jawa: Berdiri karena Ketakutan Hindia Belanda