Mungkin hal ini merupakan strategi pemerintah yang dengan sadar membuat para siswa mengenakan pakaian pribumi mereka, demi mencegah timbulnya keterasingan antara mereka dan penduduk asli.
Menariknya, dalam roman gubahan Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah (1985), seorang jurnalis Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, menjadi pribumi yang kecewa dengan kebijakan pribumi tanpa alas kaki. Menganggapnya sebagai penghinaan.
Terlebih, kesejahteraan lulusan alumninya belum terpenuhi. "Pada tahun 1864, tunjangan dokter Djawa disamakan dengan jumlah yang diterima seorang guru sejak tahun 1858, yaitu ƒ.30 (gulden) per bulan." Hesselink meneruskan:
"Jika dihitung-hitung, gaji bulanan dokter Djawa maksimum setelah 20 tahun mengabdi adalah ƒ.90 (gulden). Gaji baru ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan gaji seorang guru."
Meskipun mengalami kenaikan, angka kesejahteraan Dokter Djawa masih belum bisa dikatakan memuaskan ketimbang dengan para pegawai pemerintahan. Padahal, upaya mereka dalam menangani wabah yang mendera Hindia sangat luar biasa.
Setelahnya, semangat jurnalisme dan aktivisme pergerakan keorganisasian mulai tumbuh dari para siswa calon dokter dan Dokter Djawa. Puncaknya, pendirian Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 oleh para mahasiswa STOVIA dikenang selalu sebagai Hari Kebangkitan Nasional hingga kini.