Kebanyakan dari para calon dokter yang mendapatkan kesempatan untuk sekolah kedokteran adalah mereka yang telah menyelesaikan kelas menengah Europeesche Lagere School (ELS) atau salah satu sekolah untuk kepala Pribumi.
Fakta lainnya, bahwa kebanyakan pribumi lulusan sekolah menengah di ELS adalah mereka yang berduit. Sekolah elit ini cukup mahal, sehingga kebanyakan di antara siswanya berasal dari keluarga yang berkedudukan di Jawa.
Namun, pada saat pihak Sekolah Dokter Djawa membatasi hanya lulusan ELS saja yang diprioritaskan untuk dapat studi, gelombang siswa yang masuk menjadi menurun. Perubahan kebijakan mulai diupayakan.
Pada tahun 1891, diputuskan bahwa "maksimal delapan anak laki-laki berusia enam sampai delapan tahun yang menyatakan ingin dilatih menjadi dokter Djawa dapat mengikuti ELS secara gratis," tulis Hesselink dalam bukunya.
Perluasan tes seleksi masuk ke Sekolah Dokter Djawa terus diperluas. Pada tahun 1896, ujian seleksi diperluas dari Jawa hingga ke Madoera. Mula-mula hanya disaring maksimal 30 siswa, lalu pada tahun 1900 ditingkatkan menjadi maksimum 80 siswa.
Dalam upaya mengasah kemampuan para siswa, praktik lapangan lebih digiatkan. Klinik rawat jalan dibuka pada tahun 1890. Siswa dilatih untuk melakukan pembedahan dan pengobatan penyakit mata. Setahun kemudian latihan praktis untuk penyakit dalam.
Dalam berpakaian, para siswanya mengenakan atribut sesuai dengan asalnya. Setelah kebijakan politik etis di tahun 1901, Sekolah Dokter Djawa berganti menjadi STOVIA (1902) dan telah menyaring semua siswa potensial dari ELS di seluruh Hindia.
Kebanyakan mayoritas siswa yang berasal dari Jawa akan mengenakan kain (selendang), jas terbuka berwarna hitam dengan kerah berdiri yang dilengkapi dengan dasi hitam.
Sedangkan secara umum, semua siswa diwajibkan untuk mengenakan topi bernomor dengan esculapap ketika berada di luar halaman sekolah. Jika siswa meninggalkan halaman sekolah tanpa tutup kepala (topi) dapat dihukum.
Baca Juga: Kisah Menggemparkan Dunia: Pemuda Maluku Membajak Kereta di Belanda
"Beberapa siswa bangga dengan 'topi berlambang' mereka dalam bentuk ular kuning yang melingkari sulur bunga'. Namun yang lain, sebaliknya, membenci tutup kepala yang membuat mereka dapat dikenali di mana-mana," terus Hesselink.