Menyelami Era Regency: Yang Luput dari Serial Netflix "Bridgerton"

By Tri Wahyu Prasetyo, Sabtu, 25 Mei 2024 | 08:05 WIB
Golda Rosheuvel sebagai Ratu Charlotte di Bridgerton. (LIAM DANIEL/NETFLIX)

Nationalgeographic.co.id—Era Regency Inggris, sering diromantisasi dalam budaya populer modern, adalah periode yang ditandai oleh perubahan besar dan kontradiksi sosial.

Sering kali, membayangkan era ini membawa kita ke dalam dunia kereta kuda yang gemerincing, pesta dansa yang meriah, dan gaun-gaun elegan yang menghiasi malam.

Namun, di balik keanggunan dan pesta yang tak ada habisnya, Era Regensi adalah masa penuh dinamika sosial, politik, dan budaya yang mengubah arah sejarah Inggris.

Diilhami oleh kesuksesan serial Netflix "Bridgerton", kita akan menyelami lebih dalam tentang masa yang penuh gejolak ini, yang membentang dari 1811 hingga 1820. Ini adalah sebuah era yang menjadi lebih dari sekadar latar bagi drama kostum yang elegan.

Pergantian Kekuasaan

Diawali dengan kondisi kesehatan mental Raja George III yang memburuk, George Augustus, Pangeran Wales, memegang kendali.

Dia tidak hanya mengambil alih di saat ayahnya jatuh sakit, tetapi juga mengubah nada kepemimpinan kerajaan.

Dibandingkan dengan ayahnya yang dikenal karena kebijaksanaan dan ketegasannya, George memilih jalan yang berbeda. Dia lebih fokus pada kepuasan pribadi dan pemborosan.

Hal ini tecermin dalam kecintaannya pada pesta dan pengumpulan karya seni yang mahal, yang pada akhirnya menciptakan citra mewah, tetapi terputus dari realitas rakyatnya.

Ayahnya, yang memerintah selama periode yang ditandai oleh kestabilan relatif dan kemajuan ekonomi, merupakan kontras yang tajam dengan gaya hedonistik George.

George IV sebagai Pangeran Wales. (Public Domain/Wikimedia Commons)

Penulis sejarah Larry Holzwarth mencatat, “George Augustus tidak terlalu peduli dengan politik dan pemerintahan, kecuali untuk hal-hal yang menguntungkan pribadinya."

Kepemimpinan George tidak hanya mempengaruhi citra kerajaan, tetapi juga kebijakan sosial dan ekonomi.

Di satu sisi, dorongan besar terhadap seni dan budaya memberikan Inggris beberapa simbol arsitektur dan estetika yang paling ikonik. Di sisi lain, kecenderungan untuk menghindari masalah politik yang lebih mendesak menyebabkan ketidakpuasan dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat.

Pendekatan George yang serba mewah, yang ditandai dengan perayaan dan pesta yang tidak memperhatikan biaya, menetapkan nada untuk apa yang banyak dilihat sebagai 'dekadensi yang terang-terangan' dari era tersebut.

Hal Ini, ironisnya, menjadi salah satu alasan mengapa Era Regency sering dipandang dengan kacamata romantisasi—kemewahan yang berlebihan sering kali menarik perhatian lebih dari realitas yang lebih kompleks dan sering kali lebih keras dari kehidupan sehari-hari di masa itu.

Konflik dan Peperangan

Sementara Pangeran Regency berfokus pada keindahan, Inggris terlibat dalam peperangan melawan Napoleon. Kondisi ini meningkatkan ketegangan politik dan ekonomi, menciptakan perpecahan dalam masyarakat.

Konflik ini tidak hanya menimbulkan beban fiskal, tetapi juga memperdalam ketidaksetaraan sosial. Perpecahan kelas diperburuk oleh kebijakan yang tidak memperhatikan kebutuhan rakyat jelata.

Unjuk rasa dan tuntutan akan keadilan sosial menjadi lebih umum, mencerminkan kesenjangan yang semakin lebar antara elite dan kelas pekerja.

Perubahan Sosial dan Gerakan Luddites

Dalam lanskap yang dipenuhi inovasi, kemunculan gerakan Luddites bertindak sebagai kontra poin yang dramatis terhadap kemajuan teknologi. Perekonomian Inggris, yang sudah tegang akibat perang panjang dengan Napoleon, semakin terpuruk.

Gerakan ini, lahir dari ketakutan dan frustrasi terhadap mekanisasi yang mengancam mata pencaharian tradisional, menjadi simbol perlawanan terhadap industrialisasi yang tak terelakkan.

Larry Holzwarth mencatat, "Kaum Luddites menganggap diri mereka sebagai rakyat yang setia kepada kerajaan, dan memberontak terhadap apa yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap mata pencaharian mereka."

Transformasi Mode Masyarakat Kelas Bawah

“Beau Brummell”, sebagai ikon gaya, tidak hanya mengubah cara orang berpakaian tetapi juga bagaimana mereka memandang diri sendiri dan kelas mereka dalam hierarki sosial.

“Sebagai seorang pria yang berasal dari keluarga sederhana, Brummell mendobrak tembok yang memisahkan antara pria biasa seperti dia dan para bangsawan Inggris,” kata J.A. Shapira, dalam tulisanya di laman hespokestyle.

Meskipun dia tidak memiliki keuangan, Shapira menambahkan, hal itu tidak menghentikannya untuk berperilaku seolah-olah dia sekaya orang-orang di sekelilingnya.

Hal ini menandai pergeseran nilai dalam masyarakat Regency, dimana penampilan bisa digunakan untuk menantang struktur kelas yang mapan.

Pengaruh Era Regency terhadap Budaya Modern

Era Regency, meskipun sering kali ditampilkan sebagai zaman romantis dalam narasi populer, sebenarnya adalah periode yang kompleks dengan tantangan sosial dan politik yang mendalam.

Implikasi dari kehidupan sosial dan budaya saat itu terus mempengaruhi narasi modern dan persepsi kita tentang masa lalu.

Era ini, dengan perpaduan antara kemewahan yang mencolok dan pergolakan sosial, menawarkan pelajaran penting tentang bagaimana perubahan dalam gaya hidup dan estetika dapat mencerminkan pergeseran sosio-ekonomi yang lebih luas.