Buddha Mengajarkan Kita untuk Bahagia dengan Kekurangan, Bagaimana dengan Krisis Iklim?

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 25 Mei 2024 | 14:05 WIB
Patung Buddha. Prinsip ajaran Buddha menuntun kita agar berbahagia dengan kekurangan. Apakah ajaran Buddha ini bisa memandu kita dalam menghadapi krisis iklim? (Mimihitam/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Dari sudut pandang ajaran Buddha, setiap orang bisa belajar hidup sederhana dan bahagia. Tidak ada rahasia besar di dalamnya.

Kesederhanaan bukanlah pilihan estetika atau gaya hidup. Begitulah cara hidup Anda mengekspresikan diri saat Anda merasa puas.

Bagaimana pemikiran ini dapat membantu kita mengatasi krisis iklim?

Bhikkhu Sujato dan Nadine Levy mengurainya dalam sebuah tulisan di The Guardian. Nadine Levy adalah doktor dan dosen senior di Nan Tien Institute tempat ia mengoordinasikan program kesehatan dan kesejahteraan sosial, serta sertifikat pascasarjana dalam kesadaran terapan.

Adapun Bhikkhu Sujato adalah seorang biksu Buddha di Australia yang telah menerjemahkan khotbah-khotbah Buddhis awal dari bahasa Pali ke bahasa Inggris untuk SuttaCentra. Ia telah menjadi aktivis lingkungan sejak tahun 1984 dan telah banyak menulis dan berbicara tentang perubahan iklim dari sudut pandang Buddhis.

Mereka berdua menjelaskan bahwa sejatinya Sang Buddha telah berbicara tentang perubahan dan ketidakkekalan. Dia berbicara tentang perubahan iklim atau krisis iklim dan perubahan iklim antropogenik. Analisisnya dapat membantu kita saat ini.

Sang Buddha mengajarkan bahwa penyebab masalah adalah keserakahan dan solusinya adalah rasa puas diri. Kita sering berpikir bahwa kita bisa menyelamatkan bumi.

Namun sejatinya bumi tidak perlu diselamatkan, bumi bisa menjaga dirinya sendiri. Kita perlu menyadari bahwa bumi lebih dari sekedar sumber daya untuk memuaskan hasrat kita.

Jadi, bagaimana kita bisa menginginkan hal yang lebih sedikit?

Menurut ajaran Buddha, keinginan manusia tidak ada batasnya. Namun Sang Buddha memberikan jalan yang jelas untuk memahami mengapa kita menginginkan begitu banyak dan bagaimana kita dapat belajar untuk berbahagia dengan sedikit hal. Jalan itu dimulai ketika kita bertanya pada diri sendiri, apa sebenarnya yang kita butuhkan?

Tidaklah cukup hanya menyederhanakan hidup Anda sendiri. Etos “cukup” harus melampaui sikap dan pilihan pribadi kita dan meluas ke ranah politik dan sosial. Hal ini mungkin termasuk memikirkan siapa yang kita pilih dan menolak mitos bahwa hanya individu yang dapat menyelamatkan bumi.

Baca Juga: Anak Kecil dari Biara Buddha Jadi Awal Kebangkitan Dinasti Ming Tiongkok