Seperti Apa Sistem Pendanaan Upaya Konservasi Lingkungan Hidup Kita?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 29 Mei 2024 | 08:40 WIB
Upaya konservasi dan merawat lingkungan hidup Indonesia membutuhkan pembiayaan besar, tidak cukup dengan APBN dan APBD. Lewat BPDLH, pendanaan internasional dapat membantu upaya-upaya tersebut. (YKAN)

Nationalgeographic.co.id—Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki salah satu habitat hutan tropis terbesar di dunia, Indonesia sangat dibutuhkan untuk menanggulangi perubahan iklim. Hanya saja, upaya penanggulangan permasalahan iklim membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Pada periode 2018-2020, APBN kita memiliki pembiayaan alokasi dan realisasi anggaran perubahan iklim yang menyentuh Rp307,94 triliun. Angka ini masih sangat kurang, mengingat ada banyak sektor yang harus dikerjakan oleh Pemerintah Indonesia, baik itu dari segi mitigasi, adaptasi, merestorasi hutan dan laut, mengurangi karbon maupun transisi energi.

Oleh karena itu, upaya keberlangsungan lingkungan hidup demi menyelesaikan permasalahan iklim, memerlukan pembiayaan dari negara-negara internasional. Sejak Perjanjian Paris 2015, dunia internasional, khususnya negara maju harus berkontribusi.

Negara-negara maju di Eropa dan Amerika harus membiayai upaya penyelesaian permasalahan iklim di negara-negara berkembang dan tropis seperti Indonesia, Brazil, dan Kongo. Alasannya, permasalahan iklim bukan hanya milik satu atau dua negara saja, melainkan berdampak pada seluruh dunia.

"Jadi kalau bicara kegagalan aksi iklim, ini adalah aksi global," kata Joko Tri Haryanto, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). "Apa yang kita kerjakan akan memengaruhi orang lain di belahan planet ini. Makanya, solusinya adalah solusi global. Enggak boleh solusinya parsial."

Dalam acara daring Bincang Redaksi-66 yang diadakan National Geographic Indonesia pada Sabtu, 25 Mei 2024, Joko menjelaskan bagaimana skema pendanaan permasalahan iklim dan lingkungan di Indonesia dijalankan lewat BPDLH. Acara ini bertajuk "Pendanaan untuk Gagasan Keberlanjutan, Langkah Kecil demi Bumi yang Lebih Baik".

Ibarat perusahaan, BPDLH adalah CFO (Chief Financial Officer) yang mengeola pembiayaan lingkungan hidup, dan sedangkan berbagai kementerian, yang menjadi kontributor penting nasional, sebagai adalah CEO (Chief Executive Officer) atau pelaksana teknis, terang Joko.

Dengan demikian, BPDLH hanya mengurus keuangannya. Badan ini memiliki keterbatasan, yakni tidak dapat menentukan secara hukum proses pelaksanaannya. Mereka hanya menyalurkan dan mengaudit pendanaan, dan menyampaikan tata cara pemanfaatan dana yang dibuat oleh sumber pendanaan.

"BPDLH ini juga bukan solusi semua masalah. BPDLH bukan kemudian menjadi Superman yang bisa menyelesaikan semua problem," kata Joko. "Tapi BPDLH ini menjadi langkah kecil untuk mengoptimalkan dana-dana internasional, sambil dari sisi pemerintahnya terus melakukan perbaikan reformasi."

Beberapa kementerian menjadi BPDLH untuk pelaksanaan dari anggaran yang dikumpulkan BPDLH. Di antaranya ada Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang menjadi pengarah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan pembina utamanya adalah Kementerian Keuangan.

Ada pun kementerian lainnya yang menjadi mitra pelaksanaan adalah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM), Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Baca Juga: Apakah Perhutanan Sosial Mampu Menjaga Hutan?