Sejarah Sebagai Seni: Novel Pramoedya di Antara Realita dan Sastra

By Galih Pranata, Selasa, 11 Juni 2024 | 15:00 WIB
Jean Marais meminta masukan kepada Minke tentang lukisannya yang menggambarkan Annelies dalam teater Bunga Penutup Abad, dari cuplikan roman Pramoedya, Bumi Manusia (1980). (Annisa)

Nationalgeographic.co.id—Ruang-ruang kelas di kebanyakan sekolah acap kali suntuk ketika pembelajaran sejarah dimulai. Bisa jadi gurunya, bisa jadi materinya yang didaktis, tak ada yang pasti. Meski demikian, sejarah sejatinya seni, sejarah sebagai seni.

Barangkali dari perspektif ini ada sudut terang yang bisa mendongkrak wajah kurikulum sejarah agar bisa lebih bergairah. Seni adalah sebentuk keindahan dan sejarah juga menawarkan seni di dalamnya.

Seperti halnya novel-novel roman gubahan Pramoedya. Pramoedya Ananta Toer, salah satu penulis gilang gemilang sepanjang sejarah yang hidupnya hampir dihabiskan dalam penjara, telah membuat asa dari muramnya materi sejarah.

Ibnul Saud menulis risetnya bersama dengan Amirudin Rahim, dan La Ode Sahidin dalam Jurnal Pendidikan Bahasa yang berjudul Aspek-Aspek Sejarah dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer, terbitan 2020.

Menurutnya, sosok gemilang yang akrab disapa Pram itu lekat dengan karya monumentalnya: tetralogi Buru. Karya tetralogi, seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, telah berhasil mengangkat materi sejarah dengan keindahan sastra.

Novel-novel Pramoedya sangat layak masuk ke dalam ruang kelas yang berisi kejumudan karena "sastra dan sejarah memiliki hubungan timbal balik. Suatu karya sastra dapat menjadikan peristiwa sejarah sebagai objeknya dan sebaliknya," imbuh Ibnul Saud dan tim.

Secara keseluruhan tetralogi, sastra Pram yang mengikat telah sukses menggambarkan realitas sejarah yang mengitarinya. Tema dalam tetralogi ini menceritakan suasana di Hindia pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Dalam Bumi Manusia (1980), Pramoedya menggambarkan persona Nyai Ontosoroh sebagai wanita tangguh, di samping mengenalkan realitas pergundikan yang terjadi di Hindia. Di beberapa bagian itu juga, sistem kawin campur Eropa-Jawa diperkenalkan.

Para Nyai di era kolonial Belanda, berlaku layaknya ibu rumah tangga. Begitu juga dengan nyai Ontosoroh yang kecil dengan nama Sanikem. Digambarkan tangguh dengan pemikiran meski hidupnya dihabiskan sebagai wanita simpanan tuan Mellema.

Meski demikian, nyai Ontosoroh dianggap beruntung karena mewarisi ilmu pengetahuan dan kebudayaan Eropa. Lebih tercerahkan dengan pemikiran modern dibandingkan dengan wanita pribumi di masanya.

Di samping citra buruk seorang nyai dari realitas sejarahnya, Pram mengukuhkan seorang nyai dengan kehebatan lainnya: mampu mengaudit dan mengatur seluruh aset kekayaan perusahaan Mellema Melk yang rumit dan kompleks.

Baca Juga: Perpustakaan PATABA, Pengembang Literasi Lokal yang Mendunia