Sejarah Sebagai Seni: Novel Pramoedya di Antara Realita dan Sastra

By Galih Pranata, Selasa, 11 Juni 2024 | 15:00 WIB
Jean Marais meminta masukan kepada Minke tentang lukisannya yang menggambarkan Annelies dalam teater Bunga Penutup Abad, dari cuplikan roman Pramoedya, Bumi Manusia (1980). (Annisa)

Betapa luar biasanya dunia Tiongkok dengan angkatan mudanya mendorong Hindia terpelajar untuk mengembangkan suatu kelompok terorganisir. Disebutnya: Organisasi modern.

Dari pemikiran-pemikiran inilah, Pram mengedarkan situasi yang tak mudah dari perjuangan seorang jurnalis, Tirto alias Minke dalam mendorong priyayi di sekitar Batavia dan Buitenzorg hingga Bandung untuk merintis organisasi modern.

Dari sana, lahirlah syarikat priyayi yang dalam realitas sejarah memegang peranan penting sebelum akhirnya lahir Boedi Oetomo yang cukup populer untuk melingkupi segenap terpelajar dan priyayi Jawa.

Sampai terbitnya harian Medan Prijaji, Pramoedya telah memberikan pemahaman sejarah dengan balutan fiksi bersastra nun indah. Dan seterusnya hingga roman Rumah Kaca, perjuangan Minke dalam memandang kondisi di Hindia, dikemas secara luar biasa.

Melihat karya sastra Pramoedya yang luar biasa ini, tak ayal ia mendapatkan berbagai nobel penghargaan untuk pencapaiannya yang luar biasa. Bahkan, banyak dari karyanya yang dialih bahasakan di negeri-negeri lain.

Belajar dari Pram, sejarah adalah realitas yang perlu dihayati. Tidak sekadar nama tokoh dan tanggal-tahun sebagai kewajiban siswa untuk menghafalkannya, tapi tentang penghayatan.

Sejatinya dalam setiap peristiwa sejarah, menyimpan pesan dan perasaan yang dibawa jauh melintas zaman. Tulisan-tulisan Pramoedya akan abadi seiring beranjaknya zaman, tak layu diranggas waktu.

Oleh Galih Pranata

Guru Sejarah, Pengajar Karya Ilmiah Universitas Terbuka, Jurnalis, dan Penulis Buku Rerasan Guru Berkisah Pendidikan.