Setelah melepaskan diri sebentar pada tahun berikutnya, kekalahan para pendukungnya dalam pertempuran di Langside membuatnya kembali melarikan diri. Secara impulsif, Mary mencari perlindungan di Inggris. Namun Elizabeth, dengan segala kelicikan politik, menggunakan serangkaian alasan yang berhubungan dengan pembunuhan Darnley untuk menahan Mary.
“Mary yang malang dipenjara selama 18 tahun berikutnya dalam hidupnya,” tulis Antonia Fraser di laman Britannica. Sementara itu, saudara laki-laki Mary, Moray, diangkat menjadi wakil penguasa Skotlandia.
Eksekusi Mary, Ratu Skotlandia
Penawanan Mary berlangsung lama dan melelahkan. Kesehatannya menurun karena kurangnya latihan fisik. Kecantikannya pun memudar. Tentu saja, dia memusatkan energinya pada upaya pembebasannya.
Mary sebagai seorang Katolik menjadi fokus alami dari harapan umat Katolik Inggris yang ingin menggantikan ratu Protestan Elizabeth di atas takhta. Penemuan rencana pembunuhan Elizabeth pada tahun 1586 inilah yang akhirnya membuat Elizabeth membuat keputusan. Baginya, posisinya akan selalu terancam bila Mary tetap hidup.
Terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah ratu berdaulat di negara lain, Mary diadili oleh pengadilan Inggris dan dihukum. Putranya, James, yang belum pernah bertemu ibunya sejak bayi dan sekarang ingin menjadi penerus takhta Inggris, tidak mengajukan keberatan.
Mary dieksekusi pada tahun 1587 di aula besar di Kastil Fotheringhay, dekat Peterborough. Ia dieksekusi saat berusia 44 tahun.
Jenazahnya akhirnya dimakamkan di Westminster Abbey. Sebuah monumen megah untuk Mary dibangun oleh James I setelah dia akhirnya naik takhta Inggris.
Sosok Mary menimbulkan kontroversi besar dalam hidupnya. Bahkan sepupunya, Ratu Elizabeth, dengan tepat menjulukinya sebagai “putri perdebatan.”
Kisah dramatis Mary terus memicu perdebatan di kalangan sejarawan. Sementara ketertarikan publik terhadap femme fatale abad ke-16 ini masih terus berlanjut hingga kini.