Layang-layang Kuau, Dukungan Pelestarian Budaya dan Ekologi Sumatra 

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 21 Juni 2024 | 00:19 WIB
Layang-layang kuau raja tabuk isi sebagai simbol pelestarian budaya dan puspa Sumatra. Amronshah merupakan pegiat budaya yang melestarikan dan memopulerkan layang-layang asal Riau yang nyaris punah ini. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Sejak kapan nenek moyang kita bermain layang-layang? Sejauh ini belum ada jawaban yang pasti. Namun, gambar cadas prasejarah figur manusia bermain layang-layang di sebuah gua di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, setidaknya telah memberi petunjuk. Tampaknya, peranti layang-layang telah dikenal nenek moyang kita sejak ribuan tahun silam.

Layang-layang dikenal sebagai mainan yang terbuat dari kertas berkerangka yang diterbangkan ke udara dengan menggunakan tali atau benang sebagai kendali. Nama layang-layang juga disematkan sebagai nama burung yang biasa melayang-layang. Tradisi permainan layang-layang pernah populer di kalangan anak-anak Nusantara.

Saya menjumpai Amronshah, lelaki berusia 60 tahun yang bercambang dan berjenggot putih. Ia merupakan pegiat budaya di Sanggar Layang-layang Purnama, Kota Dumai.

"Waktu saya kecil dulu, masih jumpa ini layang-layang digunakan untuk mengusir hama saat panen padi," ujarnya. "Layang-layang digunakan para petani saat panen untuk mengusir burung-burung," ujarnya sembari mengenang masa kecil.

Layang ini memiliki pitu-pitu, yang menghasilkan bunyi mendengung. Bunyi itulah yang digunakan untuk menghalau. burung-burung.

Selain digunakan para petani padi, ia juga menyaksikan nelayan-nelayan setempat bermain layang-layang di sore hari ketika musim angin kuat yang menyebabkan mereka tidak bisa melaut. 

Amronshah, pegiat budaya Sanggar Layang-layang Purnama, yang berupaya melestarikan tradisi layang-layang kuau asal Provinsi Riau. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

"Namanya, layang-layang kuau," ujarnya. "Burung kuau." Kuau merujuk nama burung yang berhabitat di Sumatra, yang kini semakin langka dijumpai. "Burung ini tidak dapat terbang, jadi hidupnya di darat saja," imbuhnya.

Namun, seiring menyempitnya persawahan, layang-layang pengusir burung pun kian langka. "Sekarang tidak ada lagi padi di sini," ujarnya. "Sudah habis."

Semenjak awal 1990-an Amronshah pun berhasrat untuk melestarikan tradisi ini karena ia menyadari bahwa layang-layang kuau merupakan bagian jati diri budaya Melayu Riau pesisir.

Namun, di sisi lain ia menyaksikan juga bahwa anak-anak tak lagi berminat bermain layang-layang. Kemudian, untuk menumbuhkan minat itu kembali, ia menggelar pelatihan-pelatihan kepada anak-anak dari tingkat pelajar.

"Saya mengajarkan pembuatan layang-layang kuau ini dari lidi sawit sampai bisa naik," ungkapnya. "Saya ini bimbang, apabila saya tidak kembangkan barang ini pasti punah."