Layang-layang Kuau, Dukungan Pelestarian Budaya dan Ekologi Sumatra 

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 21 Juni 2024 | 00:19 WIB
Layang-layang kuau raja tabuk isi sebagai simbol pelestarian budaya dan puspa Sumatra. Amronshah merupakan pegiat budaya yang melestarikan dan memopulerkan layang-layang asal Riau yang nyaris punah ini. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Tantangan yang dihadapi Amronshah sekarang ini adalah upaya pelestarian yang bersaing dengan permainan-permainan daring. Ia menyiasatinya dengan mengadakan lomba layang-layang, meski hadiahnya tidak besar—seperti buku, tas, dan peralatan sekolah. Selain itu ia juga telah mengupayakannya menjadi mata pelajaran budaya Melayu Riau di sekolah.

"Kami dipanggil sekolah untuk mengajarkan anak-anak membuat layang-layang, sambil mengajarkan teknik tebuk isi," ujarnya berbinar-binar. "Alhamdulillah sekarang sudah banyak anak-anak sekolah yang bisa membuat layang-layang kuau."

Kini, Amronshah bersama komunitasnya telah melestarikan juga pola ragam hias yang menjadi bagian layang-layang kuau raja tebuk isi. Mereka juga melestarikan unsur-unsur dari luar daerah dumai seperti pitu-pitu, yang berasal dari masyarakat Bugis yang mendiami pesisir Riau. Pitu-pitu merupakan benang dalam bentangan rotan, yang memiliki tujuh nada. 

"Apa sebab kita ambil pitu-pitu?" ujarnya. "Riau pesisir ini bukan saja Melayu dan Jawa, tetapi juga suku Bugis asal Sulawesi. Kebetulan bunyi-bunyian itu menarik kita untuk memasukkan ke situ menjadi kolaborasi budaya." 

Kita menjumpai keberadaan budaya masyarakat Bugis hampir di seluruh penjuru Nusantara. Mereka memiliki sebutan lain sebagai pelaut ulung. Menurut Anthony Reid dalam bukunya bertajuk Menuju Sejarah Sumatra, mengungkapkan bahwa orang-orang Bugis mungkin mulai mendiami Sumatra sekitar akhir abad ke-17 sampai abad ke-18.   

Pengerjaan layang-layang kuau 

Dalam mempersiapkan bambu, Amronshah memiliki aturan waktu pengambilan bambu terbaik menurut tradisi leluhur. "Kita mengambil bambu harus di bulan gelap," ujarnya. "Kalau kami mengambil bambu pas bulan terang, bambu itu mudah dimakan bubuk atau rayap."

Setelah mengambil bambu sesuai apa yang kita butuhkan, ia merendamnya selama tiga bulan. Tujuannya untuk menghilangklan kadar asam pada bambu. Setelah tiga bulan, ia mengangkatnya dari rendaman. Kemudian, ia menjemur bambu-bambu hasil rendaman itu selama satu minggu atau sampai kering. Barulah, ia merautnya untuk merakit layang-layang. 

'Kabar dari Selat Malaka' merupakan laporan jurnalistik National Geographic Indonesia dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. (National Geographic Indonesia)

Untuk ragam hiasnya melalui proses "tebuk isi", yakni membuat pola ragam hias lalu mengisinya dengan kertas-kertas warna. Amronshah mengembangkan ragam hias sederet puspa khas pesisir Riau, seperti bunga raya dan daun pakis. Setiap warna pada bunga dan daun memiliki makna. Contoh, warna merah keberanian, warna hijau kemakmuran, warna kuning kewibawaan.

Dia menambahkan, "Sekarang ini kami jumpa suatu tanaman hampir punah, sehingga akan kami tuangkan ke ukiran pada layang-layang. Nama tanamannya periuk kera"—sejenis kantong semar.

Layang-layang kuau raja tabuk isi telah merekam budaya dan ekologi yang terancam di pesisir Sumatra. "Tujuan kami tak lain dan tak bukan adalah untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan di Riau pesisir supaya anak cucu kami ke depan bisa mengenal bahwa tanaman ini ada di Riau," ujar Amronshah. "Boleh jadi, apa yang kami jumpai yang langka akan kami curahkan ke ukiran kami."