Selidik Mitologi Agartha: Peradaban Misterius dan Sejarah di Baliknya

By Tri Wahyu Prasetyo, Senin, 24 Juni 2024 | 09:00 WIB
Dalm mitologi, Agartha dikenal sebagai peradaban maju yang berada di dalam Bumi. Meskipun muncul dari dunia kuno, Agartha terus menginspirasi berbagai karya hingga saat ini. (Illustration from Midjourney for National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Bayangan dunia bawah tanah kembali menghantui pikiran kita. Serial Netlix "Nightmares and Daydreams" karya Joko Anwar, menggugah kembali ingatan akan kisah mitologi Agartha.

Kota bawah tanah yang penuh misteri ini, konon dihuni oleh peradaban yang jauh lebih maju dari kita.Namun, apakah Agartha hanya sekadar mitos belaka? Adakah fakta menarik di balik kisah mitologi yang telah lama terpendam ini?Apa itu Agartha?

Agartha, menurut seorang penulis buku misteri dan mitologi, Orrin Grey, merupkan "sebuah kerajaan dalam bumi yang terhubung ke setiap benua di dunia melalui jaringan terowongan yang luas." 

Akar dari mitlogi Agartha dapat ditelusuri kembali ke India pra-Hindu, dan legenda tentang sebuah pulau yang terletak di laut pedalaman di utara Himalaya.

Konon, pulau tersebut adalah rumah bagi sekelompok manusia super yang memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan jauh melebihi orang umumnya.

Untuk menghindari bencana—mungkin pergeseran benua yang membentuk permukaan dunia seperti yang kita kenal sekarang—orang-orang super ini memindahkan bangsa mereka ke bawah tanah dan menciptakan Agartha.

Kisah-kisah Agartha

Saint-Yves adalah orang Barat pertama yang menulis tentang Agartha dalam risalahnya tahun 1886, "Mission de l’Inde en Europe".

Risalahnya ini ditulis di bawah pengaruh orang-orang memiliki pengetahuan mendalam tentang tradisi dan kebijaksanaan Timur. Salah satunya adalah orang yang mengaku sebagai Pangeran Hardjij Scharipf—seorang yang juga mengajarinya bahasa Sanskerta.

Namun, kemudian, Saint-Yves tampaknya khawatir bahwa ia telah "mengungkapkan terlalu banyak," dan mencoba untuk menghancurkan semua salinan bukunya tentang Agartha.

Buku ini kemudian tidak diterbitkan lagi hingga tahun 1910, setahun setelah kematian Saint-Yves. Namun, meskipun Saint-Yves adalah orang Barat pertama yang menulis tentang Agartha, dia bukanlah yang terakhir.

Baca Juga: Wawasan Aksara Linear B dan Kebenaran Atlantis dalam Mitologi Yunani

Pada tahun 1908, sebelum penerbitan ulang "Mission de l’Inde en Europe" oleh Saint-Yves, penulis Amerika Willis George Emerson menerbitkan "The Smoky God".

Ia mengaku bahwa bukunya memuat kisah nyata seorang pelaut Norwegia bernama Olaf Jansen, yang melewati pintu masuk ke kerajaan bawah tanah di Kutub Utara dan tinggal di antara penghuninya selama dua tahun.

"The Smoky God sebenarnya tidak menyebut tempat yang dikunjungi Jansen fiktif sebagai Agartha atau Shambhala, tetapi para penulis berikutnya telah menetapkan nama itu untuk kerajaan bawah tanah yang dijelaskan dalam buku Emerson," jelas Grey.

Teori Bumi Berongga dan Agartha

Sebuah penggambaran planet Bumi yang menampilkan (Public Domain/Wikimedia Commons)

Teori Bumi Berongga adalah gagasan pseudosains yang menyatakan bahwa Bumi bukanlah bola padat, melainkan memiliki rongga besar di dalamnya yang mungkin dihuni oleh peradaban lain. Teori ini telah ada sejak abad ke-17 dan sering dikaitkan dengan mitos Agartha.

Setelah Perang Dunia Pertama berakhir, okultis Jerman, termasuk mereka yang tergabung dalam Masyarakat Thule Nazi, mulai menggabungkan berbagai kepercayaan dan tradisi ke dalam ide-ide mereka.

Salah satu dari kepercayaan ini adalah kisah-kisah tentang Agartha. Namun, mereka bukanlah yang pertama melakukannya.

"Para anggota Thule Society banyak mengambil inspirasi dari para okultis sebelumnya, seperti Madam Blavatsky dan Perkumpulan Teosofinya, yang telah mengambil ide-ide tentang Shambhala dan teori-teori Bumi Berongga lainnya dalam ajaran-ajaran mereka," kata Grey.

Pasukan Nazi sangat serius dengan ide-ide okultis mereka. Mereka bahkan menggunakan teori Bumi Berongga untuk mencoba menentukan lokasi kapal-kapal Inggris atau menargetkan rudal V1 selama Perang Dunia II.

Sementara itu, Saint-Yves, juga memunculkan gagasan tentang "sinarki"; gaya filosofi politik yang, dalam tahun-tahun sejak dia menciptakannya, sering merujuk pada pemerintahan oleh elit rahasia atau "deep state."

Saint-Yves sangat percaya bahwa "pemerintahan dunia" sinarki pernah ada atau masih ada di Agartha.

Baca Juga: Wilayahnya Mencakup Albania dan Kroasia, Inilah Suku Illyrian dari Mitologi Yunani

Agartha Hari Ini

Meskipun akarnya tertanam dalam mitologi kuno, konsep Agartha tetap relevan dan menarik di era modern ini.

Serial Netflix "Daydreams and Nightmare" karya Joko Anwar hanyalah salah satu contoh bagaimana Agartha terus hidup dalam budaya populer.

Karya lainya seperti film animasi Jepang "Children Who Chase Lost Voices" (2011) dan film "Godzilla vs. Kong" (2021), adalah contoh bagaimana konsep Agartha terus hidup dalam budaya populer.

Tak hanya film, permainan video seperti "Uncharted 2: Among Thieves" dan "Agartha" (2018) membawa pemain dalam petualangan ke dunia bawah tanah yang penuh misteri.

Agartha juga menjadi subyek berbagai teori konspirasi. Beberapa orang percaya bahwa Agartha adalah tempat persembunyian bagi peradaban yang sangat maju, sementara yang lain menganggapnya sebagai pusat kekuatan spiritual yang akan menyelamatkan umat manusia dari kehancuran.

Hingga saat ini, belum ada bukti ilmiah yang mendukung keberadaan Agartha. Namun, misteri dan daya tariknya tetap kuat, terus mengundang spekulasi dan imajinasi.

Keberadaannya yang misterius terus mengundang rasa ingin tahu dan menginspirasi kita untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi di dunia ini.