Kenangan 60 Tahun Pelayaran Bersejarah, KRI Dewaruci Kembali Singgah di Sabang

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 29 Juni 2024 | 14:54 WIB
KRI Dewaruci singgah di Pelabuhan Sabang dalam misi Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024. Pada 1960, kapal kebanggaan Indonesia ini pernah singgah di Pelabuhan Sabang juga untuk memulai pelayaran keliling dunianya yang pertama. Difoto menggunakan iPhone 15 Pro Max. (Okky Anak Dolan/National Geographic Indonesia)

 

Nationalgeographic.co.id—Dalam temaram sinar rembulan, sang Angsa Betina itu mengarungi Selat Malaka yang bergolak. Lepas dari empasan gelombang, ia berenang ke perairan yang lebih tenang di sebelah utara Pulau Weh. Sebuah gugusan pulau gunung api yang berada paling barat dari kepulauan kita.

Setelah menempuh pelayaran tiga malam, suara rantai sauh beradu dengan geladak, menggema ke penjuru kabin. Geladak menggaduh, tanda awak kapal membuang sauh.

Angin dari pulau gunung api itu menerobos jendela-jendela kapal dan mengaliri relung-relung kabinnya. Pada kesempatan pelayaran ini KRI Dewaruci membawa misi Muhibah Budaya Jalur Rempah, bersama Laskar Rempah. Sabtu dini hari yang cerah, 22 Juni 2024.

Kebetulan, kedatangan ini memiliki keterkaitan historis antara Sabang dan KRI Dewaruci yang terbangun sejak 60 tahun silam. Setelah dilepas di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, kapal layar tipe Barquentine ini singgah di Sabang pada 1964. Kota paling barat di Indonesia ini menjadi titik mula kisah pelayaran misi muhibah keliling dunianya yang pertama. Misinya saat itu "Operasi Sang Saka Djaja", melayari segara sejauh ribuan mil demi mengenalkan tradisi dan budaya Indonesia. 

Barangkali banyak awaknya yang mencatat pelayaran muhibah itu, namun hanya seorang yang menerbitkannya sebagai buku. Buku bertajuk Sang Saka Melanglang Djagad ditulis oleh Cornelis Kowaas, seorang  sersan mayor ALRI yang bertugas dalam korps cinematograph. Kabarnya, salah satu buku yang dilarang beredar pada masa Orde Baru.

Bentang alam Teluk Sabang, pulau gunung api yang memiliki riwayat budaya dan sejarah terkait rempah. Kota ini memiliki toponimi Kampung Merica, yang mengingatkan kejayaan rempah Aceh Darussalam. Difoto menggunakan iPhone 15 Pro Max. (Okky Anak Dolan/National Geographic Indonesia)

Dalam catatan perjalanannya, Kowaas mengibaratkan kapal layar yang bercat putih ini sebagai "angsa betina jang sedang meluntjur di kolam jang indah". Atau pada kesempatan lain, ia mengumpamakan sebagai "seorang gadis djelita jang sedang berjemur diatas pelampung, megah dan angkuh."

Presiden Sukarno memberikan kata pengantar dalam buku ini, "Prestasi Dewarutji ini adalah prestasinja ALRI kita, dan ini hanja mungkin karena ia didjiwai oleh patriotisme dan heroisme jang bersumber kepada Amanat Penderitaan Rakjat kita dan kepada Amanat Keluhuran nenek-mojang kita."  

Sementara itu Jenderal TNI A.H. Nasution selaku Menteri Koordinator Kompartemen Pertahanan Keamanan mengungkapkan, "Semboyan 'gantungkan tjita2' setinggi langit harus pula diimbangi dengan menantjapkan kedua kaki didasar laut."

"Sedjarah djuga telah mengadjarkan kepada kita bahwa penguasaan atas lautan merupakan sjarat jang sangat penting bagi sebuah negara kesatuan di Indonesia jang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Roti," kata Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Artati Marzuki Sudirdjo dalam kata sambutannya. 

Pelayaran muhibah Kapal Latih KRI Dewaruci keliling dunia yang pertama dipimpin oleh Letnan Kolonel Soemantri, yang direstui oleh Presiden Sukarno pada 8 Maret 1964. Soemantri, mengungkapkan, "Bertugas dilautan selama delapan bulan bukanlah suatu hal jang ringan, tetapi ia meminta kesiapan fisik psychis jang tinggi untuk menanggulangi setiap tantangan alam jang dihadapi jang kadang2 datang tak dapat diperhitungkan dengan cepat."

Baca Juga: Dewaruci dan Khilafnya Negeri Bahari

Kurang dari sepuluh hari, kapal layar itu tiba di ujung barat Nusantara. Awak kapal yang turut dalam pelayaran itu berjumlah 110 orang, 78 di antaranya adalah kadet. Kowaas berkisah, "Tanggal 14 Maret 1964 kami sandar di Sabang dengan selamat." Kemudian ia melanjutkan menulis, "Djam 14.00, tanggal 16 Maret 1964. Seluruh anak buah Dewarutji berdiri rapih, tersusun dalam barisan diatas geladak." 

Keberangkatan KRI Dewaruci diberkati oleh seorang sepuh asal Makassar, namanya Pakih, seorang yang kurus dan berjenggot putih. Ia adalah warga Sabang, namun sejatinya berasal dari Sulawesi Selatan. Sebagai generasi yang mewarisi tradisi laut, ia mulai berlayar semenjak remaja. Pakih muda telah melayari segara dari Makassar hingga mencapai pulau paling barat di kepulauan kita.

"Masih kuat nampaknja kalau dibandingkan dengan terkaan kita sepintas lalu tentang djumlah tahun2 jang telah dilaluinja. Katakanlah 75 tahun. Atau 80 tahun. Tapi itu adalah terkaan jang sangat djauh meleset ." Kowaas mengungkapkan dengan yakin bahwa Pakih berusia 164 tahun!

Ketika bersandar di Pelabuhan Sabang, awak KRI Dewaruci membuka kesempatan kepada warga untuk merasakan suasana geladak sekaligus mendapatkan informasi berkait perjalanan kapal legendaris ini. Difoto menggunakan iPhone 15 Pro Max. (Okky Anak Dolan/National Geographic Indonesia)

Jelang KRI Dewaruci bertolak dari Sabang, "Pak Pakih dengan rela dan bangga telah merestui KRI Dewarutji dengan seluruh anak buahnja, merestuinja dengan doa penolak bala, dan sebagainja," tulisnya. "Dan berhamburanlah beras kuning dan tepung tawar." Kowaas mengungkapkan rona wajah orang sepuh itu, "Bahagia, adalah kata jang tepat untuk melukiskan perasaan beliau pada waktu itu." 

Upacara dengan menabur beras kuning dan tepung tawar juga berulang dalam penyambutan KRI Dewaruci dan peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024. Lokasinya pun boleh jadi sama, yakni di tepi Pelabuhan Sabang. Komandan KRI Dewaruci dan seluruh Laskar Rempah Batch-2 'Kayumanis' disambut dengan sirih pinang, kemudian seorang berbusana serba hitam melakukan tradisi tepong tawar. 

Komandan Pelabuhan TNI-AL Sabang, Gita Muharam, dalam sambutannya mengatakan, "Hari ini merupakan hari yang spesial, kami dapat menyambut KRI kebanggaan dari Angkatan Laut, yakni KRI Dewaruci."

Gita melanjutkan, KRI Dewaruci merupakan kapal legendaris yang digunakan oleh seluruh taruna Akademi Angkatan Laut sebelum dilantik menjadi perwira untuk misi mengelilingi dunia bertajuk Kartika Jala Krida. "Alhamdulillah kita dapat bernostalgia kembali pada KRI Dewaruci. Pelayaran melewati titik-titik yang mengandung sejarah perdagangan dan budaya penting menjadi simbol keterhubungan daerah dalam historis jalur rempah."

Bersama KRI Dewaruci dan laskar rempah terpilih, Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024 akan menjelajahi kearifan di tujuh lokasi persinggahan dagang kuno. Kegiatan ini akan mengingatkan kita pada saat kejayaan perdagangan rempah-rempah silam, termasuk Kota Sabang. 

"Kami berharap semoga muhibah budaya ini dapat dijadikan wahana untuk mengaktifkan kembali jalur rempah yang dulu pernah ada," ujar Gita, "menghubungkan titik-titik rempah dan mempererat ikatan budaya antarwilayah."

'Kabar dari Selat Malaka' merupakan laporan jurnalistik National Geographic Indonesia dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. (National Geographic Indonesia)

Irini Dewi Wanti, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, mengatakan bahwa pada tahun ini Muhibah Budaya Jalur Rempah singgah ke negeri tetangga—Malaysia—untuk menegaskan keterhubungan budaya sekaligus sebagai upaya mengusulkan Jalur Rempah menuju warisan dunia. "Kita akan membuktikan Indonesia kaya akan budaya, Indonesia sebagai negara adidaya budaya dengan seluruh potensi yang benar-benar bisa kita gali," ujarnya. 

"Kami mengucapkan selamat datang kepada peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah di Kota Sabang," Reza Pahlevi, Penjabat Wali Kota Sabang saat menyambut. "Momentum ini juga mengingatkan kita semua bahwa Sabang memiliki peran penting dalam perdagangan rempah pada masanya dahulu. Dan, salah satunya, kita tahu Sabang berperan dalam perdagangan cengkih—dan rempah-rempah lain—yang merupakan komoditi utama di Kota Sabang, dan juga mewarnai perdagagangan rempah pada masanya."

Sabang memiliki riwayat dalam perdagangan rempah. Kota ini begitu strategis, sangat dekat dengan Phuket dan Langkawi, yang juga berada di jalur pelayaran internasional. "Hampir seratus ribu kapal melintas tiap hari di perairan Sabang!" ujar Reza.

Saman, tarian khas Gayo yang dipentaskan para lelaki. Komunitas Seni Air menggelarnya dalam acara pelepasan KRI Dewaruci yang membawa misi Muhibah Budaya Jalur Rempah ke persinggahan berikutnya: Kota Malaka. Difoto menggunakan iPhone 15 Pro Max. (Okky Anak Dolan/National Geographic Indonesia)

"Jalur Rempah yang melintasi Sabang bukan hanya soal perdagangan, tetapi juga pertukaran budaya," imbuhnya. Di sinilah budaya berbagai tradisi bangsa saling bertemu dan berinteraksi. Tidak heran apabila sampai hari ini pun kota ini begitu kosmopolit, begitu terbuka.

Pelayaran Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024 bermula dari Jakarta. Dewaruci singgah di berbagai kota pesisir dalam rute pelayaran kuno perdagangan rempah. Persinggahan pertamanya di Belitung, kemudian Dumai, Sabang, Malaka, Tanjung Uban, Lampung, dan kembali lagi ke Jakarta.

Komandan KRI Dewaruci Letkol Laut (P) Rhony Lutviadhani mengatakan kepada National Geographic Indonesia tentang masa depan Dewaruci setelah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional. Menurutnya, kapal legenda Indonesia ini akan "semakin mudah diakses oleh masyarakat luas sebagai wisata edukasi dan sejarah bahwa bangsa Indonesia memiliki legenda Dewaruci yang menorehkan prestasi di dunia internasional."

Berkenaan dengan keberlanjutan Muhibah Jalur Rempah, Rhony mengharapkan pesertanya bukan hanya dari Indonesia tetapi juga peserta dari negara-negara ASEAN, yang dilalui sejarah Jalur Rempah. Selanjutnya, ia juga menaruh perhatian tentang jalinan kolaborasi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk turut bersama-sama memperhatikan pelestarian dan perawatan KRI Dewaruci sebagai cagar budaya.

Saya menulis kisah ini di kabin sang angsa betina saat berlayar mengarungi celah perairan antara Semenanjung Malaya dan Sumatra—dari Sabang menuju Kota Malaka. Seperti kata Kowaas saat meninggalkan kota paling barat di Indonesia itu pada enam dekade silam, "Vaya Con Dios Sabang!"

—Kisah ini merupakan bagian "Kabar dari Selat Malaka", laporan jurnalistik National Geographic Indonesia dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024.