Setelah ini selesai, inti dapat dimasukkan kembali ke dalam seni batu, mengurangi kerusakan dibandingkan dengan metode sebelumnya.
Metode ini dikembangkan oleh Aubert yang merupakan ahli arkeologi di Griffith Centre for Social and Cultural Research (GCSCR) bersama dengan Profesor Renaud Joannes-Boyau, ahli arkeogeokimia dari Geoarcheology and Archaeometry Research Group (GARG).
Menurut Aubert, sebelumnya telah menggunakan metode berbasis uranium untuk mencari umur seni cadas di wilayah Sulawesi dan Kalimantan.
Namun teknik LA-U series ini menghasilkan data yang lebih akurat karena mampu mendeteksi umur lapisan kalsium karbonat dengan sangat rinci hingga mendekati masa pembuatan seni hias tersebut.
"Penemuan ini akan merevolusi metode analisis pertanggalan seni cadas," tutur Aubert.
Sementara itu, bagi Joannes-Boyau, teknik tersebut memungkinkan kita untuk membuat peta lapisan kalsium karbonat secara rinci. Kemampuannya membuat kita dapat menentukan sekaligus menghindari area permukaan yang mengalami proses perubahan diagenesis secara alami.
"Konsekuensinya penentuan umur seni cadas menjadi lebih mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan," lanjut Joannes-Boyau.
Hasilnya menunjukkan bahwa gambar di Leang Bulu’ Sipong 4 sebenarnya lebih tua 4.000 tahun dari perkiraan sebelumnya, yaitu 48.000 tahun. Sedangkan seni di Leang Karampuang memiliki usia yang lebih tua lagi, yaitu 51.200 tahun.
Dengan kata lain, kedua karya seni di lokasi tersebut berusia setidaknya 10.000 tahun lebih tua daripada seni batu tertua di Eropa, menurut Aubert.
Kira Westaway dari Universitas Macquarie di Sydney, Australia, mengatakan bahwa teknik pengukuran yang lebih baik telah memberikan penilaian yang lebih akurat tentang kapan seni Sulawesi sebenarnya dilukis.
Baca Juga: Gambar Cadas Paleolitik: Lukisan Gua tentang Sihir dan Perdukunan