Tak Ada Musik di Planet yang Mati!

By National Geographic Indonesia, Rabu, 10 Juli 2024 | 09:36 WIB
Lima belas musisi/grup lintas genre dari berbagai wilayah di Indonesia hadir dalam lokakarya IKLIM 2024, The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab. Sebuah inisiasi kolektif aksi iklim yang menyatukan musisi, seniman, organisasi lingkungan, dan pakar iklim di Indonesia untuk merespon tantangan ini. (IKLIM)

   

Cerita oleh Ramon Y. Tungka, Editor-at-Large Saya Pilih Bumi

   

Nationalgeographic.co.id—Tak dapat dimungkiri jumlah populasi manusia di bumi yang mencapai 8,5 miliar telah membawa perjalanan umat manusia memasuki era Antroposen. Sebuah zaman ketika perilaku kehidupan manusia memberikan dampak signifikan terhadap kerentanan planet. Dengan populasi sebanyak itu, kita terbukti telah mengubah wajah planet ini.

Tentu siapa pun tidak akan rela membayangkan bilamana planet ini mengering terbengkalai. Seperti era Pasca-apokaliptik yang dialami Max Rockatansky dalam franchise film “Mad Max” besutan George Miller. Sumber daya alam menjelma komoditas yang langka. Ada pula yang telah habis. Sirna. Termasuk budaya. Tak ada musik di planet yang mati. 

Kendati perubahan iklim nyata terjadi, namun praktik ekploitasi energi terus menerus digalakkan tanpa henti. Ditambah perilaku konsumtif berlebihan yang melahirkan gunungan limbah yang tak dapat terurai hingga berujung pada mencairnya es di kutub dan naiknya permukaan laut. Seakan krisis iklim adalah hal yang musiman.

Dalam IKLIM 2024, Ramon Y. Tungka, Editor-at-Large Saya Pilih Bumi mengisahkan populasi yang menggelayuti Bumi dan telah mengubah wajah planet ini. (IKLIM)

Urgensi yang melanda bumi ini kemudian menginspirasi lahirnya IKLIM (The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab) pada 2023. Sebuah inisiasi kolektif aksi iklim yang menyatukan musisi, seniman, organisasi lingkungan, dan pakar iklim di Indonesia untuk merespon tantangan ini. 

Mengambil tempat di kawasan Gianyar dan Ubud, Bali, IKLIM menghelat lokakarya bagi musisi yang berkolaborasi dalam inisiatif ini pada 1-5 Juli 2024 pekan lalu. Sebanyak 15 musisi/grup dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul dan berdiskusi memperdalam pemahaman isu lingkungan bersama para pakar iklim. 

Tahun ini, 15 musisi dan grup yang tergabung dalam lokakarya IKLIM 2024. Di antaranya seperti, Asteriska, Bsar, Daniel Rumbekwan, Bachoxs, Down For Life, Efek Rumah Kaca, Jangar, LAS!, Matter Mos, Petra Sihombing, Poker Mustache, Rhosy Snap, The Vondallz, Voice of Baceprot, dan Wake Up Iris.

Rapper Tuantigabelas memberikan paparan peran musik hiphop dalam mengatasi krisis iklim dalam perhelatan IKLIM 2024. (IKLIM)

Mereka berasal dari beragam genre musik dan mewakili berbagai wilayah yakni Jakarta, Garut, Solo, Madiun, Malang, Makassar, Pontianak, Bali, dan Fakfak. Selama lima hari para musisi itu menanggalkan jubah senimannya—hadir sebagai individu bumi—melebur bersama pakar iklim dan fasilitator untuk membangun gagasan demi gagasan dalam sebuah transaksi energi positif menyikapi isu iklim.

Tak sedikit data dan statistik persoalan ditampilkan oleh para pakar iklim. Tak ayal pemaparan situasi persoalan krisis iklim yang melanda negeri ini cukup mencengangkan para peserta.

Baca Juga: Saya Pilih Bumi Meluncurkan Circular City Project untuk Solusi Pengurangan Sampah

“Di sini (lokakarya) telah membuka hati kami lebih lebar lagi. Seperti penyadaran kembali,” ujar Vania Marisca dari duo asal Malang, Wake Up Iris.

Guna mempertajam proses kreatif turut pula dihadirkan barisan fasilitator. Mereka adalah para musisi yang terlibat pada lokakarya tahun sebelumnya yakni Farid Stevy, Cholil Mahmud, Endah Widiastuti, Tuan Tigabelas, Iga Massardi, Rizal Hadi serta Nova Filastine.

Lokakarya ini merupakan tahun kedua penyelenggaraan, dimana pada 2023 para musisi yang terlibat menelurkan album kompilasi bertajuk “Sonic/Panic” sebagai metode kreatif untuk menyebarkan pesan kesadaran lingkungan pada masyarakat.

“Lokakarya ini sangat menarik dan menantang. Kami, para musisi, tidak hanya berkumpul untuk saling bertukar cerita tetapi juga terpapar data dan fakta lingkungan yang dari para aktivis, peneliti, dan pakarnya. Pengayaan semacam ini bagus sekali untuk para musisi sebagai bekal berkarya, pintu atas kesadaran lingkungan, dan memupuk komitmen dalam menyuarakan pesan iklim,” terang Endah Widiastuti.

Endah Widiastuti, musisi kolobarator tahun lalu mengisi sesi pesan iklim dan lirik lagu pada lokakarya IKLIM tahun ini. (IKLIM)

Pernyataan biduan dari duo Endah N Rhesa telah mengukuhkan bahwa lewat pemberdayaan budaya dan kekuatan kreatif di negeri ini, kita dapat mengembangkan strategi komunikasi yang mendidik, menginspirasi, dan memanggil aksi melalui sebuah karya seni. 

Hal ini mengekspresikan semangat kegotong-royongan dalam merumuskan komitmen dan solusi iklim. Mengingat peran kita sebagai penghuni planet adalah bagian dari sumber persoalan. Namun kita memiliki kekuatan jua sebagai bagian dari solusi.

“Dalam berkarya, musisi tak sekedar melahirkan estetika, namun ada dampak sosial.

Karena musisi bukanlah mesin industri, tapi sejatinya musisi mampu menggiring dan membentuk opini. Sebagai sebuah media edukasi informal perubahan budaya.” Ujar Gede Robi, penggagas gerakan IKLIM pada saya sebelum naik panggung bersama bandnya, Navicula, di malam inaugurasi.

Para musisi yang terlibat dalam lokakarya IKLIM 2024 menanam pohon di Gianyar sebagai simbol upaya mengimbangi emisi karbon yang dihasilkan (carbon offsetting) dari perjalanan para musisi dari kota-kota asal mereka ke Bali. (IKLIM)

Lokakarya ini pun nantinya akan diekstraksi menjadi album musik kompilasi sebagai sekuel pergerakan dari tahun sebelumnya. Inisiasi ini kontan memanifestasikan bahwasanya inklusifitas adalah satu-satunya solusi guna mengatasi isu iklim.

Di mana musik dan seni jelas memiliki peran yang kekar dalam mendorong perubahan sosial. Tentu kehadiran seniman sebagai penutur dan penyampai pesan, sahih dapat bertransformasi sebagai “game changer”.

Dengan lugas sebuah karya seni diyakini memiliki kekuatan gelombang sonik yang sanggup menuai resonansi yang berdampak. Berevolusi dari keresahan yang direspon berbuah karya. Memantik percikan perubahan. 

Mengejewantahkan khutbah dari seorang Peter Gabriel:

From the pain comes the dream.

From the dream comes the vision.

From the vision come the people.

From the people comes the power.

From this power come the change.