Sejarah Dunia: Kenapa Kekaisaran Islam Ingin Taklukkan Konstantinopel?

By Ade S, Jumat, 12 Juli 2024 | 12:03 WIB
Lukisan modern Mehmed dan Tentara Ottoman mendekati Konstantinopel dengan pemboman raksasa, oleh Fausto Zonaro. Mengapa umat Islam, khususnya Turki Utsmani di bawah pimpinan Muhammad Al-Fatih atau Mehmet II, begitu ingin menaklukkan Konstatinopel? (Fausto Zonaro)

Nationalgeographic.co.id—Konstantinopel, kota yang berdiri kokoh selama berabad-abad sebagai benteng terakhir peradaban Kristen di Barat, akhirnya runtuh di bawah gempuran pasukan Turki Ottoman pada 29 Mei 1453.

Kejatuhan Konstantinopel menandai berakhirnya Abad Pertengahan dan membuka babak baru dalam sejarah dunia.

Kota ini telah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah yang menghubungkan Eropa dan Asia, serta menjadi benteng pertahanan Kristen melawan Islam. Meskipun sering dikepung, Konstantinopel selalu berhasil bertahan.

Namun, pada tahun 1453, Mehmet II, Sultan muda Turki Ottoman, berhasil menembus tembok tebal Konstantinopel yang tak tergoyahkan selama berabad-abad.

Kejatuhan kota ini berdampak besar bagi dunia. Bagi bangsa Eropa, ini merupakan pukulan telak karena jalur perdagangan rempah-rempah yang dikuasai oleh Turki Ottoman membuat harga rempah-rempah melambung tinggi.

Akibatnya, bangsa Eropa mencari alternatif jalur perdagangan baru, yang akhirnya mengantarkan mereka ke penemuan Benua Amerika dan memulai era penjelajahan samudera. Termasuk dimulainya penjajahan di Indonesia.

Namun, apa sebenarnya alasan umat Islam ingin menaklukkan Konstatinopel?

Sejarah singkat Konstantinopel

Konstantinopel, kota yang didirikan oleh Kaisar Romawi Konstantinus Agung pada tahun 330 M, telah menjadi saksi bisu gejolak sejarah selama berabad-abad.

Berada di lokasi strategis yang menghubungkan Eropa dan Asia, Konstantinopel menjelma menjadi ibu kota kekaisaran yang megah dan pusat perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan.

Kejayaan Konstantinopel tak lepas dari ketangguhannya. Selama lebih dari seribu tahun, kota ini kokoh berdiri, menghadapi berbagai serangan dan pengepungan. Namun, di balik kekuatannya, Konstantinopel juga menyimpan kisah pahit.

Baca Juga: Byzas, Pendiri Bizantium yang Diceritakan dalam Mitologi Yunani

Pada tahun 1204, Perang Salib Keempat menorehkan luka mendalam bagi Konstantinopel. Kota ini direbut oleh pasukan Tentara Salib, menandai keruntuhan Kekaisaran Bizantium.

Kekaisaran kemudian terpecah menjadi negara-negara kecil, dan mereka saling berperang memperebutkan tahta Bizantium.

Meskipun mengalami perpecahan, semangat Bizantium tak padam. Pada tahun 1261, bangsa Nicea berhasil merebut kembali Konstantinopel dari Tentara Salib dan membangun kembali Kekaisaran Bizantium di bawah dinasti Palaiologos.

Namun, kebangkitan ini tak berlangsung lama. Kekaisaran Bizantium yang telah rapuh harus kembali berhadapan dengan serangan bertubi-tubi, kali ini dari bangsa Latin, Serbia, Bulgaria, dan yang paling kuat, Turki Usmani.

Penaklukan Konstantinopel

Pada tahun 1451, seperrti dilansir dari Britannica, Mehmed II naik tahta Kesultanan Ottoman di usia yang terbilang muda, 19 tahun.

Banyak pihak di Eropa meremehkannya, menganggap sang penguasa muda ini takkan menjadi ancaman bagi hegemoni Kristen di Balkan dan Laut Aegea. Mereka bahkan merayakan penobatannya, berharap minimnya pengalaman akan menjerumuskan Ottoman.

Namun, anggapan mereka keliru besar. Mehmed II muda memiliki ambisi besar. Pada tahun 1452, dia memulai rencananya dengan membangun benteng di Bosphorus, beberapa mil di utara Konstantinopel. Hal ini menunjukkan tekadnya untuk menguasai kota penting tersebut.

Setahun kemudian, Mehmed II mengerahkan pasukan ke Peloponnese untuk memblokade Thomas dan Demetrios, saudara laki-laki Konstantin XI, Kaisar Bizantium ke-57. Tujuannya adalah untuk mencegah mereka memberikan bantuan kepada Konstantinopel dalam serangan yang akan datang.

Pada tanggal 6 April 1453, Mehmed II melancarkan serangan besar-besaran terhadap Konstantinopel. Pasukannya yang berjumlah 80.000 orang, dilengkapi dengan persenjataan baru yang canggih, siap menghancurkan pasukan Bizantium yang hanya berjumlah 8.000 orang.

Pertempuran sengit pun terjadi. Mehmed II, sang pemuda yang haus akan keagungan, memimpin pasukannya dengan gagah berani. Setelah 53 hari dikepung, Konstantinopel akhirnya runtuh pada tanggal 29 Mei 1453.

Baca Juga: Bagaimana Nubuat Darah Menjaga Keberlangsungan Kekaisaran Bizantium?

Kemenangan ini menandai runtuhnya Kekaisaran Bizantium dan berakhirnya Abad Pertengahan.

Mehmed II kemudian menjadikan Konstantinopel sebagai ibu kota Ottoman yang baru, menggantikan Adrianople. Penaklukan ini menjadi salah satu pencapaian terbesar dalam sejarah Ottoman dan mengantarkan Mehmed II ke puncak kejayaan.

Alasan umat Islam menyerang Konstantinopel

Salah satu alasan Konstatinopel diperebutkan adalah lokasinya yang strategis, yaitu sebuah kota yang terletak di persimpangan benua Asia dan Eropa. 

Dikelilingi oleh air di tiga sisinya dan terhubung langsung ke Laut Hitam, Mediterania, dan Afrika melalui laut, kota ini menjadi gerbang perdagangan utama antara Timur dan Barat.

Keistimewaan lokasi Konstantinopel sudah disadari sejak awal. Orang Yunani dan Romawi telah membangun pemukiman di wilayah ini sejak abad ke-7 SM, dengan nama Byzantium. Namun, potensi penuhnya baru digali oleh Kaisar Romawi Konstantinus Agung pada tahun 330 M.

Memahami keunggulan strategis dan daya tahan yang ditawarkan oleh tiga sisi yang dikelilingi air, Konstantinus Agung memindahkan ibu kotanya ke Byzantium dan mengubah namanya menjadi Konstantinopel.

Akses ke dua sungai besar, Sungai Danube dan Sungai Efrat, semakin memperkuat posisi Konstantinopel sebagai pusat perdagangan dan peradaban.

Selama lebih dari seribu tahun, dari tahun 330 hingga 1453, Konstantinopel menjadi jantung Kekaisaran Bizantium atau Romawi Timur. Kota ini berkembang menjadi pelabuhan kosmopolitan yang ramai, menjadi tempat pertemuan para pedagang dan budaya dari berbagai penjuru dunia.

Bagi bangsa Eropa, Konstantinopel memainkan peran penting sebagai transit rempah-rempah utama dari Asia. Rempah-rempah merupakan komoditas berharga di masa itu, dan Konstantinopel menjadi pintu gerbang bagi bangsa Eropa untuk mendapatkan pasokan rempah-rempah yang mereka butuhkan.

Sementara itu, bagi kekaisaran Islam Turki Utsmani di bawah pimpinan Muhammad Al-Fatih atau Mehmet II, Konstantinopel memiliki makna khusus.

Bagi Mehmet II, ini adalah kesempatan untuk meruntuhkan dominasi Kekaisaran Bizantium, menegaskan kekuatan Islam, dan menguasai jalur perdagangan internasional yang menguntungkan.

Jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani menandakan berakhirnya Kekaisaran Romawi Timur dan menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah dunia.

Bagi bangsa Eropa, peristiwa ini pada akhirnya membawa dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari agama, militer, ekonomi, hingga psikologis.