Berkat AI, Pagoda Kekaisaran Tiongkok Berusia 1.000 Tahun Ini 'Hidup' Kembali

By Ade S, Minggu, 21 Juli 2024 | 16:03 WIB
Pagoda Sakyamuni di Kuil Fogong, Kabupaten Ying, provinsi Shanxi, Cina. Teknologi AI menghidupkan kembali Pagoda Kekaisaran Tiongkok berusia 1.000 tahun, membantu pelestarian dan visualisasi strukturnya. (Charlie fong)

Program VR ini tak hanya memberikan pengalaman wisata yang imersif, tetapi juga menjadi alat edukasi yang bermanfaat untuk mempelajari sejarah dan arsitektur pagoda yang kaya.

"Ini adalah pekerjaan yang membutuhkan waktu berbulan-bulan jika menggunakan metode tradisional," ungkap Mao Shijie, wakil presiden Lenovo Group dan kepala Lenovo Research Shanghai. "Teknologi AIGC mutakhir memungkinkan rekonstruksi digital pagoda dengan cepat, hanya dalam waktu 10 jam."

Keunggulan teknologi AI tak berhenti di situ. Algoritma AI dipadukan dengan data yang dikumpulkan dari drone dan kamera radar untuk menciptakan kembali detail rumit pagoda secara presisi.

Hal ini memungkinkan para peneliti untuk mempelajari struktur pagoda dengan lebih mendalam dan membantu upaya pelestariannya di masa depan.

Profesor Liu Chang dari Universitas Tsinghua, salah satu sosok di balik proyek VR Pagoda Yingxian, menekankan pentingnya memahami pagoda secara menyeluruh dari berbagai perspektif untuk memandu restorasi yang efektif.

Baginya, mengungkap transformasi sejarah pagoda dan memprediksi kondisi masa depannya adalah langkah krusial dalam proses pelestarian.

Liu berharap dapat menggunakan data yang dikumpulkan dari proyek VR ini untuk menganalisis dan menyimpulkan penampilan pagoda di periode yang berbeda. "Saya bisa melihat seberapa besar pagoda ini tertekan dan berubah seiring berjalannya waktu," ujarnya.

Dengan mengungkap wujud pagoda di berbagai tahap sejarahnya, Liu berharap dapat berspekulasi tentang bagaimana pagoda mungkin terlihat pada periode tertentu.

Hal serupa terjadi seperti saat arsitek terkenal Tiongkok Liang Sicheng melihatnya pada 1930-an, atau pada masa Dinasti Song (960-1279), Dinasti Jin (1115-1234), dan Dinasti Yuan (1271-1368).

Lebih dari sekadar nostalgia, Liu ingin memanfaatkan data ini untuk memahami bagaimana struktur pagoda telah berubah seiring waktu dan bagaimana faktor-faktor seperti tekanan angin, kelembaban, dan getaran tanah telah memengaruhinya.

"Bahkan mungkin untuk memprediksi penampilan pagoda di masa depan dengan menyesuaikan parameter dan menstimulasikan bagaimana kayu dapat berubah setelah lebih dari 100 tahun," ungkapnya.

Baca Juga: Kenapa Dinasti Ming Pindahkan Ibu Kota Kekaisaran Tiongkok ke Beijing?

Langkah pertama dalam melindungi atau bahkan merestorasi pagoda adalah mengenalnya secara mendalam, tegasnya.

Pagoda yang miring ini "sakit", kata Liu, dan untuk "menyembuhkannya", mereka harus terlebih dahulu menemukan "rumah sakitnya".

Mengatasi tantangan dalam melindungi pagoda, Liu menyoroti perlunya persiapan yang cermat, pemahaman menyeluruh tentang kondisi pagoda, dan penggunaan teknologi inovatif untuk mendorong upaya konservasi ke depan.

Wang Xiaolong, wakil direktur Institut Perlindungan dan Penelitian Bangunan Kuno dan Patung Berwarna di provinsi Shanxi, berharap lebih banyak informasi tentang pagoda, seperti desain asli bangunan dan degradasi material, dapat dikumpulkan dengan memanfaatkan teknologi seperti AI dan big data.

"Kami para ahli bertanggung jawab untuk melindungi dan bahkan merestorasi pagoda, sementara orang lain dapat melihat mahakarya ini dan mencintainya," pungkas Liu dari Universitas Tsinghua.