Trik Sukarno Selipkan Pesan Tersirat Kala Diminta Jepang Muncul di Film Propaganda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 23 Juli 2024 | 17:03 WIB
Sukarno (kiri) berjabat tangan dengan pimpinan urusan dalam negeri pemerintahan militer Jepang di Indonesia, Mayor Jenderal Moichiri (kanan). Jepang memanfaatkan Sukarno untuk propaganda dalam film. Namun, Sukarno memanfaatkan kesempatannya untuk menggelorakan semangat nasionalisme. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Sebagai salah satu tokoh pergerakan, Sukarno begitu dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan nasionalisme lainnya. Kepiawaiannya dalam berorasi dapat membakar semangat nasionalisme kepada khalayak, yang membuatnya punya pendukung.

Hal ini pun dimanfaatkan Jepang ketika tiba di Jawa semasa Perang Dunia II. Pemerintah militer Jepang menawarkan kerja sama dengan Sukarno untuk propaganda dan memobilisasi masyarakat.

Sejak awal kedatangannya, Jepang selalu mengutarakan kehadirannya untuk membebaskan orang Asia dari penjajahan bangsa Eropa. Perang yang digelorakan Jepang selalu disampaikan sebagai cara mendapatkan kemakmuran bersama dan harus dimenangkan, termasuk sebagai syarat mutlak "pembebasan bangsa Indonesia".

Banyak ahli sejarah Indonesia belum mengetahui pasti mengapa, pada akhirnya, para tokoh nasionalisme bekerja sama dengan Jepang. Begitu pun dengan Sukarno, yang sejak awal diajak kerja sama untuk propaganda, langsung menerima tawaran ini.

Kekuatan propaganda film Jepang

Bagaimanapun, propaganda dari berbagai media dilanggengkan pihak pemerintahan militer Jepang sejak 1942. Film adalah salah satu media yang dimanfaatkan. Pemerintah militer Jepang menyadari bahwa audio-visual lebih mudah dicerna dan punya dampak lebih besar, ketimbang sekadar teks, radio, dan selebaran gambar.

Sasaran propaganda film ini, utamanya, adalah masyarakat Indonesia yang saat itu masih tinggi buta huruf. Rilisan film yang paling awal bertanggal 1942, berjudul Jawa no Tehcnho-setsu. Tahun berikutnya, film mengandung pesan propaganda semakin banyak sampai akhir kependudukan Jepang.

Sebagian film dibuat dengan bahasa Indonesia, ada pula yang diterjemahkan dari bahasa Jepang lewat takarir atau alih suara, dan berbahasa Jepang tanpa diterjemahkan. Film dari Jepang diketahui telah diproduksi sejak 1940. Secara keseluruhan, setidaknya ada hampir 100 film kependudukan Jepang yang diproduksi sebagai propaganda. 46 film di antaranya, dibuat di Jawa.

Sendenbu atau pihak otoritas propaganda Jepang menganggarkan ragam tema dari 1942 sampai 1945 untuk musik, film, berita, dan selebaran. Pada 1942, tema propaganda mengangkat "Tujuan Perang Asia Timur Raya", beserta gagasan Gerakan 3-A (Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Pemimpin Asia).

Pada 1943, anggaran tema menggagas tentang "Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya", peningkatan produksi pangan, pengiriman padi, perekrutan romusha, mempromosikan persahabatan Jepang-Indonesia, serta pertahanan dan kekuatan perang.

Tema propaganda tema ini juga mengandung "Japanisasi", terang sejarawan Jepang Aiko Kurasawa dalam "Kemerdekaan Bukan Hadiah Jepang". Propaganda militer menyerukan bahwa orang Indonesia dan Jepang adalah "ras yang sama dan nenek moyang yang sama" yang mencitrakan Jepang sebagai "sepupu jauh".

Baca Juga: Vaksin Jepang yang Mematikan Pekerja Romusha dalam Sejarah Indonesia

Namun, tema ini tidak mudah diterima masyarakat Indonesia. Maka, pada tahun-tahun berikutnya lebih banyak mengusung tema praktis. Tema ini juga didorong oleh masa-masa kritis Jepang dalam perang yang membutuhkan tenaga kerja.

Tema yang diusung pada 1944 adalah "Tujuan Pemerintahan Militer", ketergantungan rakyat atas kekuatan Jepang, Konferensi Asia Timur Raya, peningkatan pangan, menghemat dan menabung, hiburan, serta perekrutan romusha.

Pada 1945, temanya membahas kecintaan terhadap tanah air, berhati-hati dengan mata-mata musuh, hiburan orang Jepang dan rakyat Indonesia, serta mempromosikan perjuangan Jepang.

Propaganda nasionalisme "main aman" Sukarno dalam sejarah Indonesia

Kurasawa mengungkap bahwa Sukarno tayang di pelbagai film Jepang demi menyampaikan propaganda. Semua pesan propaganda pemerintah militer Jepang ingin mendorong masyarakat di berbagai tempat di Indonesia, khususnya Jawa, untuk memobilisasi tenaga pekerja romusha.

Setiap bulannya, pidato Sukarno direkam dan dimasukkan ke berbagai film. Film yang memuat propaganda ini tidak hanya didistribusikan ke bioskop-bioskop kota, melainkan juga pelosok Jawa oleh dinas propaganda Jepang.

Cuplikan film (Persafi/Indonesian Film Center)

Film-film yang memuat Sukarno disajikan secara gratis. Dengan demikian, Sukarno pun dikenal rakyat Indonesia.

Sukarno sebagai penyeru propaganda dalam tayangan menyampaikan pesan yang tersirat dan ambigu. Alih-alih sekadar melayani permintaan Jepang, pidato Sukarno yang diselipkan dalam film justru mendorong dukungan rakyat biasa Indonesia.

"Bung Karno ternyata berhasil agak mengesampingkan 'pesan sponsor' itu," terang Kurasawa. "Dalam usaha menggerakkan hati rakyat, dia hati-hati memilih kosakata yang menyinggung perasaan tentara Jepang."

Kurasawa mengutip salah satu pesan Sukarno dalam film Ya'eshi'o tahun 1942, "Marilah kita bekerja sama agar supaya lekas tercapai cita-cita kita bersama, yaitu Asia Raya."

Baca Juga: Retorika Yamin: Sejarah Adalah Kunci Semangat Kongres Pemuda

Menurut Kurasawa, konotasi yang diucapkan Sukarno untuk sebagai pembawa pesan propaganda fasisme Jepang dalam kependudukannya di Asia. Pesan ini cenderung menunjukkan "Asia untuk bangsa Asia".

Ada pun semangat antikolonialisme, tanpa menyinggung kependudukan militer Jepang di Indonesia dalam Menoedjoe ke Arah Mengambil Bagian Pemerintahan dalam Negeri pada 1943:

"Masyarakat baru yang kita sedang susun itu, tak mungkin kekal kalau kita tidak mencapai kemenangan akhir, karena itu marilah kita taruhkan perjuangan ini sampai ke ujung-ujungnya, tahanlah menderita, tahanlah kesukaran. Kebesaran kita tidak dapat kita capai di atas kasur bantalnya kesenangan, kebesaran kita itu hanyalah bisa capai di dalam api unggunnya perjuangan."

Sosoknya yang pandai dalam beretorika dan berapi-api, ketika disiarkan secara intens, rakyat tertarik dengan gagasan Sukarno. Dampaknya, rasa nasionalisme Indonesia muncul, alih-alih sekadar mendukung kampanye romusha Jepang.