Nationalgeographic.co.id—Sejak tahun 1902, pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah memiliki sekolah tinggi kedokteran untuk kaum bumiputra di Batavia. School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), namanya.
Pada saat kemelut wabah menerjang Hindia, STOVIA dibangun dengan tujuan untuk mengatasi keterbatasan tenaga dokter demi mampu mengatasi krisis. Oleh sebab itu, kaum bumiputra dicetak untuk menjadi tenaga kesehatan tambahan melawan wabah.
Dalam hal penaklukan wilayah demi wilayah, pemerintah kolonial Belanda dengan mudahnya mengakuisisi. Namun, dalam persoalan wabah, pemerintah kolonial kerap kali takluk dan kewalahan. Mereka kehilangan banyak nyawa karena malaria atau cacar.
Banyak kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah, tetapi sering kali tak tepat sasaran atau tidak sesuai dengan kebutuhan. Alhasil, wabah semakin menjalar dan memakan banyak korban jiwa.
Peran serta dokter Eropa masih disangsikan. Mereka hanya mau bekerja di kalangan orang Eropa saja. Sedangkan, untuk turun tangan membasmi wabah cacar ke kalangan kaum bumiputra di desa-desa mereka menolak.
Seperti dalam gubahan Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semua Bangsa (1981), digambarkan betapa gilanya wabah cacar menerjang Desa Tulangan yang mencekam. Sebegitu cepatnya wabah membunuh manusia, dan dokter bekerja lebih lambat.
Dari sinilah, geliat pendirian STOVIA menjadi jawaban untuk menangani krisis dari wabah akan ketersediaan tenaga kesehatan di Hindia. Namun, selang seperempat abad kemudian sejak berdirinya, di tahun 1927 STOVIA tidak lagi menerima siswa baru.
Hal ini terjadi seiring mulai menjamurnya sekolah kedokteran serupa dengan tingkatan berbeda. Alhasil, beberapa siswa kedokteran diarahkan untuk dapat bersekolah di Nederlands Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya.
Sejak tahun 1913, "pemerintah kolonial resmi membuka NIAS di Surabaya," tulis Hivaria Cahyanti dalam Jurnal Prodi Ilmu Sejarah berjudul The Development of the STOVIA Medical School in Batavia 1902-1927, terbitan tahun 2019.
Jauh sebelum NIAS berdiri, terdapat semacam pelatihan di Hindia Belanda yang saat itu disebut sebagai Dokter Djawa. Pelatihan ini merupakan suatu bentuk sertifikasi kesehatan dasar bagi orang yang tidak diizinkan untuk bersekolah di sekolah Eropa.
Dari sana, menjadi awal mula penggagasan sekolah kedokteran STOVIA hingga NIAS. Di mana dalam proses pendirian gedungnya, gedung NIAS dirancang oleh seorang arsitektur bernama Ir. F.L. Wiemans yang bergaya Indo Eropeesche Stijln.
NIAS berdiri dalam rangka untuk mempermudah akses pendidikan para calon dokter Jawa dalam merengkuh pendidikannya. Dalam kurikulum NIAS, para siswa diajarkan pengetahuan kesehatan dasar dan penerapan secara praktis.
Source | : | Jurnal Prodi Ilmu Sejarah |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR