Benteng Terakhir Moa di Selandia Baru Jadi Tempat Berlindungnya Burung yang Kini Terancam Punah

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 26 Juli 2024 | 16:00 WIB
Lukisan imajinasi Heinrich Harder akan kondisi kehidupan burung tidak bisa terbang raksasa endemik Selandia Baru yang telah punah, moa. Populasi terakhirnya berada di pedalaman yang kini diikuti oleh burung-burung tidak bisa terbang lainnya yang tersisa dan terancam punah hari ini. (Heinrich Harder/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Moa (ordo Dinornithiformes) merupakan spesies burung endemik Selandia Baru yang telah punah. Burung yang tidak bisa terbang ini terakhir terlihat pada abad ke-19. 

Sebenarnya, menurunnya populasi moa secara besar-besaran sudah berlangsung jauh sebelum abad ke-15. Penyebabnya adalah predasi burung raksasa elang haast (Hieraaetus moorei) yang kini juga telah punah. Seiring waktu, kepunahannya juga disebabkan perburuan yang dipicu oleh pertumbuhan populasi manusia di Selandia Baru.

Sekarang, ada banyak burung di Selandia Baru yang terancam punah. Sama seperti moa, mereka merupakan jenis yang tidak bisa terbang. Ancaman kepunahan ini mengancam burung-burung mengikuti kepunahan burung moa.

Uniknya, dalam sebuah studi terbaru di Nature Ecology and Evolution, burung-burung tak bisa terbang yang terancam punah ini mencari perlindungan di pelbagai lokasi tempat enam spesies moa terakhir hidup sebelum punah di masa lalu.

Studi tersebut bertajuk "Ecological Dynamics of Moa Extinctions Reveal Convergent Refugia that Today Harbour Flightless Birds", yang dipublikasikan pada Rabu, 24 Juli 2024. Penyingkapan tentang perilaku burung-burung tak bisa terbang yang terancam punah di Selandia Baru ini membuka wawasan pengembangan konservasi, termasuk menyingkap perilaku moa di masa lalu.

“Penelitian kami menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan besar dalam ekologi, demografi, dan waktu kepunahan spesies moa, distribusi mereka runtuh dan menyatu di area yang sama di Pulau Utara dan Selatan Selandia Baru,” terang Damien Fordham, penulis senior makalah dari School of Biological Sciences, University of Adelaide, dikutip dari Eurekalert.

Menjelang kepunahannya, enam spesies moa berakhir di lingkungan pegunungan yang terisolasi dan bersuhu dingin di Selandia Baru. Di Pulau Selatan, salah satu lokasinya adalah Gunung Aspiring, sementara Pegunungan Ruahine menjadi satu dari sekian benteng terakhir moa di Pulau Utara.

Hari ini, semua benteng terakhir moa yang punah, menjadi tempat tinggal bagi banyak populasi burung yang tidak bisa terbang di Selandia Baru.

Para peneliti meyakini, seiring dengan kependudukan masyarakat Polinesia di Selandia Baru, penurunan populasi moa menurun.

Masyarakat Polinesia, sebagai manusia pertama yang menjajaki Selandia Baru dalam sejarah migrasi, mengubah habitat alami satwa, termasuk moa. Bentang alam semakin berubah ketika penjajah Eropa mengikuti kependudukan di Selandia Baru. Proses kolonialisasi ini pun membawa hewan invasif bagi spesies endemik di Selandia Baru.

Pada akhirnya, populasi moa semakin menyusut ke pedalaman dengan ketinggian dan jarak yang sukar diakses manusia. Populasi yang punah terlebih dahulu adalah moa yang tinggal di kawasan pesisir.

Baca Juga: Dunia Hewan: Seperti Apa Bentuk Burung Dodo dan Mengapa Mereka Punah?