Pelbagai Peradaban Kuno Ini Runtuh Akibat Perubahan Iklim di Masa Lalu

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 27 Juli 2024 | 18:17 WIB
Diorama Peradaban Lembah Indus di Science City Kolkata. Peradaban Lembah Indus muncul sejak 3300 SM dan mencapai puncaknya sekitar 2000 SM. Kejatuhannya disebabkan perubahan iklim di masa lalu. (Biswarup Ganguly/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Jangan anggap sepele perubahan iklim. Fenomena yang dipicu ketidakseimbangan di alam ini bisa menghasilkan bencana dahsyat, yang berdampak pada kehidupan manusia.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, perubahan iklim telah berkali-kali terjadi secara alami. Dampaknya, bisa memicu keruntuhan peradaban kuno di berbagai peradaban yang pernah kita kenal. Berikut di antaranya.

Peradaban Lembah Indus

Peradaban Lembah Indus muncul di sekitar Sungai Indus sekitar Pakistan dan India modern pada 3000 SM. Masyarakat yang berada di peradaban ini bermukim dalam perkotaan yang memiliki jaringan penyimpanan air yang canggih. Kisah tentang mereka selalu menjadi halaman awal ketika membahas peradaban awal kebudayaan Asia Selatan.

Berdasarkan kajian arkeologis, aliran air sangat penting untuk menopang kehidupan Peradaban Lembah Indus untuk pertanian dan perdagangan selama hampir satu milenium. Sumber airnya berasal dari sungai-sungai besar yang akhirnya bermuara di Samudra Hindia.

Kepesatannya mengundang masyarakat dari berbagai bangsa datang, menjadikannya sebagai pusat kosmopolitan kuno.

Sempat diduga bahwa kehancuran Peradaban Lembah Indus disebabkan kedatangan bangsa Arya (Iran). Namun, pelbagai temuan arkeologis justru meninjau peradaban ini telah runtuh jauh sebelum bangsa Arya tiba. 

Perubahan iklim menghancurkan peradaban kuno ini dengan kekeringan yang terjadi sekitar 2000 SM. Fenomena ini berlangsung secara luas di Asia, sehingga dampaknya pun mungkin menekan mengapa bangsa Arya datang setelahnya.

Penurunan curah hujan monsun ini mulai melumpuhkan pertanian, dilanjutkan pada perdagangan, yang pada gilirannya menurunkan populasi penduduk. Setelah berjuang selama dua abad, penduduk Peradaban Lembah Indus bermigrasi ke timur.

Peradaban Maya

Kejatuhan peradaban di Amerika memang dipicu kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-16. Jauh sebelum itu, peradaban di sini sudah pernah mengalami kejatuhan akibat perubahan iklim. Peradaban Maya di Amerika Tengah, yang pernah bertahan sekitar 3.000 tahun, adalah salah satunya.

Baca Juga: Kenapa Atlet Olimpiade dalam Peradaban Yunani Kuno Bertelanjang Bulat?

Peradaban Maya sangat luas, mencakup Semenanjung Yucatan, sebagian Meksiko, Guatemala, Belize, bagian barat Honduras, dan El Salvador modern. Kehidupan peradaban kuno ini ditopang kepesatan pertanian yang memajukan peradaban ini di berbagai kota-kota besar. Kota-kotanya pun dibangun karena kepesatan penduduk.

Kemakmuran pertanian menghadirkan agama yang mereka sembah. Pengorbanan manusia dilakukan sebagai ritual agar dewa, atau penjaga alam, tetap menjaga kemakmuran pertanian Peradaban Maya.

Peradaban Maya runtuh pada 900 M. Kekeringan menyebabkan setiap kelompok masyarakat di dalamnya bersaing untuk mendapatkan sumber daya tersisa. Akibatnya, Peradaban Maya mengalami konflik sesamanya. Belum lagi, datangnya bangsa-bangsa asing dari utara, yang mempercepat kejatuhan mereka.

Peradaban Khmer

Asia Tenggara tidak luput dari krisis yang dipicu perubahan iklim di masa lampau. Meski berada di alam tropis, peradaban semakmur apa pun dapat runtuh ketika ketidakseimbangan alam terjadi. Peradaban Khmer di Kamboja modern adalah contohnya.

Peradaban kuno Khmer (802–1431) punya kota besar bernama Angkor, yang kini jejak arkeologisnya menjadi wisata sejarah Angkor Wat. Kota ini dibangun sekitar 1100 dan 1200. Tata perkotaannya sangat rumit, dengan kuil-kuil berarsitektur tinggi, dan sistem pengairannya yang berasal dari jaringan air dari waduk besar.

Pada abad ke-14, Peradaban Khmer dilanda cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim. Awalnya, cuaca bisa diprediksi guna menghidupi kebutuhan air bersih, pertanian, dan perdagangan kota. Kemudian hujan ekstrem turun di Angkor yang menyebabkan banjir parah.

Cuaca ekstrem diikuti dengan kekeringan tiba-tiba datang yang menurutkan waduk dan sistem perairan kota Angkor. Dampaknya adalah produksi pangan dan krisis air yang menyebabkan penurunan populasi kota. Pada gilirannya pada abad ke-15, Kekaisaran Khmer runtuh akibat keruntuhan ekologis, serangan kerajaan Ayyuthayya, dan wabah.

Peradaban Timur Tengah kuno

Peradaban Sungai Nil membentuk Kerajaan Lama Mesir yang kerap membangun banyak piramida. Sejak awal terbentuknya, Peradaban Mesir mengandalkan Sungai Nil sebagai sumber pengairan kehidupan di tepinya sampai ke muara dekat Laut Mediterania di utara.

Seni berkembang dan tetap konsisten di masa Kerajaan Lama Mesir kuno. (Vixit)

Sampai akhirnya pada 4.200 tahun yang silam, perubahan iklim regional menyulitkan kehidupan pertanian Peradaban Mesir. Dampaknya menyeluruh di sekitar Afrika Utara. Kesulitan pertanian ini termaktub dalam catatan-catatan era Kerajaan Lama Mesir kuno.

Baca Juga: Singkap Peradaban-Peradaban Kuno yang Berakhir Secara Misterius

Pola perubahan iklim ini berlanjut setidaknya sampai sekitar 1200 SM, dengan dampaknya yang memengaruhi kehidupan peradaban Timur Tengah kuno, seperti Mesopotamia dan Hittie di Turki.

Perubahan iklim Zaman Perunggu di Timur Tengah menyebabkan kekeringan, sehingga pelbagai peradaban kuno saling berebut sumber daya. Kejatuhan Zaman Perunggu ini mendatangkan periode Zaman Besi dengan kebangkitan Kekaisaran Assyria Baru dari Persia.

Kehidupan Rapa Nui yang hilang secara misterius

Rapa Nui, atau Pulau Paskah, adalah pulau terpencil yang menjadi akhir dari kisah migrasi manusia di Samudra Pasifik. Pulau ini dihuni oleh masyarakat peradaban kuno Polinesia pertama kali sekitar 800 M.

Orang Polinesia, bagian dari rumpun etnolinguistik Austronesia, tiba di Rapa Nui (Pulau Paskah) sekitar 800 M. Peradaban kuno ini runtuh kemungkinan disebabkan perubahan iklim di masa lalu. (Giovana Santillán/UNESCO)

Penduduk Rapa Nui pun meningkat dengan menghadirkan berbagai kecanggihan peradaban kuno yang masih tersisa, Moai. Para sejarawan memperkirakan, pembangunan patung-patung Moai ini melibatkan kayu, sehingga banyak pohon yang ditebang.

Krisis ekologi pun menerpa pulau terpencil di Pasifik ini pada 1300. Kala itu, perubahan iklim terjadi di berbagai tempat di bumi dengan jangka waktu yang lebih pendek, disebut sebagai Zaman Es Kecil.

Perubahan iklim ini menyebabkan kekeringan yang berkepanjangan, sehingga mengurangi kesuburan tanah yang seharusnya dapat menumbuhkan tumbuhan. Berkurangnya kesuburan tanah juga dipicu dari pertanian masif yang berlangsung sebelumnya.

Akhirnya, keruntuhan pertanian melanda Peradaban Rapa Nui, dilanjutkan dengan kelaparan berkepanjangan. Peradaban ini akhirnya runtuh pada akhir abad ke-18.

Belajar dari hancurnya peradaban kuno akibat perubahan iklim

Kehancuran peradaban kuno ini disebabkan perubahan iklim yang terjadi secara alami dalam lingkup kawasan yang kecil. Beberapa masyarakat dari peradaban tersebut mungkin selamat dengan bermigrasi ke tempat yang layak untuk menopang kehidupan, dan kawasannya berganti dengan kekuasaan yang dapat bertahan hidup.

Akan tetapi, perubahan iklim yang sedang dihadapi pada era modern terjadi akibat ulah manusia sendiri. Kita telah mengubah bentang alam, mengubah susunan alami di atmosfer maupun di permukaan bumi, memusnahkan spesies yang punya peran penting dalam ekosistem iklim, serta meningkatkan suhu global.

Baca Juga: Tak Ada Musik di Planet yang Mati!

Para ahli geologi memang menyebutkan bahwa perubahan iklim di depan mata memang tengah berlangsung secara alami. Namun, para ahli lingkungan menambahkan, perilaku manusia justru mempercepat kedatangan perubahan iklim yang seharusnya masih lama dari yang kita duga.

Dampak perubahan iklim ini sangat luas dengan krisis ekologi yang tengah berlangsung di mana-mana, termasuk Antarktika yang terpencil sekalipun. Peradaban manusia hari ini harus belajar dari peradaban yang telah berlalu sebagai mitigasi dan menyiapkan ancaman ini. Di satu sisi, peradaban manusia modern harus mengembalikan tatanan alam yang telah dirusak, demi meminimalisasi dampak apokaliptik yang terjadi di masa depan.