Cerita oleh Ramon Y. Tungka, Editor-at-Large Saya Pilih Bumi
Nationalgeographic.co.id—Tak dapat dimungkiri jumlah populasi manusia di bumi yang mencapai 8,5 miliar telah membawa perjalanan umat manusia memasuki era Antroposen. Sebuah zaman ketika perilaku kehidupan manusia memberikan dampak signifikan terhadap kerentanan planet. Dengan populasi sebanyak itu, kita terbukti telah mengubah wajah planet ini.
Tentu siapa pun tidak akan rela membayangkan bilamana planet ini mengering terbengkalai. Seperti era Pasca-apokaliptik yang dialami Max Rockatansky dalam franchise film “Mad Max” besutan George Miller. Sumber daya alam menjelma komoditas yang langka. Ada pula yang telah habis. Sirna. Termasuk budaya. Tak ada musik di planet yang mati.
Kendati perubahan iklim nyata terjadi, namun praktik ekploitasi energi terus menerus digalakkan tanpa henti. Ditambah perilaku konsumtif berlebihan yang melahirkan gunungan limbah yang tak dapat terurai hingga berujung pada mencairnya es di kutub dan naiknya permukaan laut. Seakan krisis iklim adalah hal yang musiman.
Urgensi yang melanda bumi ini kemudian menginspirasi lahirnya IKLIM (The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab) pada 2023. Sebuah inisiasi kolektif aksi iklim yang menyatukan musisi, seniman, organisasi lingkungan, dan pakar iklim di Indonesia untuk merespon tantangan ini.
Mengambil tempat di kawasan Gianyar dan Ubud, Bali, IKLIM menghelat lokakarya bagi musisi yang berkolaborasi dalam inisiatif ini pada 1-5 Juli 2024 pekan lalu. Sebanyak 15 musisi/grup dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul dan berdiskusi memperdalam pemahaman isu lingkungan bersama para pakar iklim.
Tahun ini, 15 musisi dan grup yang tergabung dalam lokakarya IKLIM 2024. Di antaranya seperti, Asteriska, Bsar, Daniel Rumbekwan, Bachoxs, Down For Life, Efek Rumah Kaca, Jangar, LAS!, Matter Mos, Petra Sihombing, Poker Mustache, Rhosy Snap, The Vondallz, Voice of Baceprot, dan Wake Up Iris.
Mereka berasal dari beragam genre musik dan mewakili berbagai wilayah yakni Jakarta, Garut, Solo, Madiun, Malang, Makassar, Pontianak, Bali, dan Fakfak. Selama lima hari para musisi itu menanggalkan jubah senimannya—hadir sebagai individu bumi—melebur bersama pakar iklim dan fasilitator untuk membangun gagasan demi gagasan dalam sebuah transaksi energi positif menyikapi isu iklim.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR