Di sisi lain, keberadaan mereka yang jadi terbuka di alam sangat mungkin dideteksi predator yang juga kelaparan. Lebih buruk lagi, stres seperti ini membuat suatu spesies kehilangan hasrat untuk bereproduksi.
Stres hewan peliharaan kita akibat perang
Di kawasan perang seperti Palestina dan Ukraina, penduduknya memiliki hewan peliharaan. Bagi banyak keluarga, hewan peliharaan sudah menjadi anggota keluarga yang tidak dapat dipisahkan. Kehadiran hewan peliharaan bahkan dibutuhkan bagi manusia yang telah kehilangan kerabat, sebagai cara menghadapi krisis.
Anjing, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, punya indra pendengaran yang tajam dan lebih sensitif untuk merespons suara besar. Semakin tua umur anjing akan lebih merasa takut akan suara kebisingan. Perilaku respons dari suara ledakan memiliki ciri-ciri stres pasca-trauma pada berbagai hewan peliharaan manusia.
Selain itu, ketika ada konflik, hewan peliharaan sulit dievakuasi dan logistik bantuannya jauh lebih terbatas daripada manusia.
"Banyak tempat penampungan pengungsi tidak mengizinkan hewan, sehingga memaksa pemiliknya untuk membuat keputusan yang berat: melarikan diri ke tempat yang aman dan meninggalkan hewan peliharaan mereka, atau tetap berada dalam kondisi berbahaya agar tidak menelantarkan mereka," terang Katherine Compitus, piskolog di Psychology Today.
Evakuasi satwa di area konflik jangan diabaikan
Terkait evakuasi satwa di area konflik, Dubiner dan rekan-rekannya melakukan penelitian di Israel selatan dan utara. Kedua kawasan ini sedang menghadapi konflik dengan Palestina dekat Jalur Gaza, dan Lebanon di utara.
Kondisi di Israel selatan cenderung lebih baik, mengingat serangan dari Gaza tidak banyak. Namun, pada kondisi luluh lantak seperti di Gaza, mungkin ada banyak satwa liar yang tidak terdeteksi.
Jika perang pecah tanpa ujung, satwa liar di kawasan konflik akan terus mengalami stres yang dapat mengancam jiwa. "Hal ini dapat memperburuk status konservasi mereka, terutama spesies yang sudah terancam punah," tutur Eran Levin, salah satu penulis makalah.
Namun, mengevakuasi satwa yang ada di wilayah perang punya tantangan berat bagi aktivis. Akses menuju lokasi terbatas karena pertempuran atau peraturan politik. Pada akhirnya, banyak organisasi, komunitas, dan aktivis dihimbau untuk mengevakuasi manusia.
"Selain itu, kondisi psikologis hewan, yang trauma oleh perang, membuat operasi penyelamatan menjadi lebih lambat dan lebih bahaya," tulis Compitus. "Penyelamat harus mendekati hewan dengan hati-hati, karena rasa takut dapat membuat mereka tidak dapat diprediksi dan lebih mungkin untuk menyerang."
Oleh karena itu, Compitus menyarankan, penyelamatan satwa baik yang dipelihara maupun liar, harus dilakukan secara terkoordinasi yang melibatkan pemerintah, LSM, dan komunitas internasional. Kebijakan harus mengakui kesejahteraan hewan juga tidak kalah penting, dan merupakan bagian dari penyelamatan kemanusiaan.
"Ini dapat mencakup perencanaan evakuasi hewan bersamaan dengan evakuasi manusia atau membangun tempat penampungan yang lebih ramah hewan di wilayah yang dilanda perang," lanjutnya.