Perang Seperti di Israel-Palestina Picu Stres pada Hewan Liar dan Peliharaan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 31 Juli 2024 | 08:00 WIB
Perang apa pun, termasuk serangan Israel ke Gaza menyebabkan kerusakan lingkungan. Banyak satwa liar dan peliharaan terlantar. Keberadaan mereka yang terabaikan dalam perang, membuat mereka stres dan rentan meregang nyawa. (gloucester2gaza/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Perang tidak hanya merugikan sesama manusia, melainkan kehidupan alam seperti hewan liar dan peliharaan. Kerusakan yang ditimbulkan perang bisa menghancurkan tempat tinggal dan tempat mencari makan spesies tak berdosa, akibat konflik antarmanusia.

Kebanyakan hewan, terutama yang dipelihara manusia, sangat sensitif ketika menghadapi suara. Anjing, kawan setia kita, mampu mendengar hingga 60.000 hertz—lebih besar dua kali lipat dari pendengaran manusia.

Dengan kemampuan indra pendengaran yang lebih sensitif, hewan peliharaan akan menunjukkan perilaku stres seperti senjata api, bahkan kembang api. 

"Anjing dan kucing telah menunjukkan respons rasa takut terhadap kembang api, termasuk bersuara, bersembunyi, meringkuk, gemetar, dan melarikan diri," lanjut Sam Sander, peneliti doktoral hewan dan satwa liar di University of Illinois Urbana-Champaign, dikutip dari laporan National Geographic Indonesia sebelumnya.

Berbeda dengan perayaan kembang api, perang bisa menghasilkan suara bising dan mengejutkan secara terus menerus. Suara tembakan dan dentuman ini tidak akan berhenti, kecuali manusia menghentikan perang dan konflik yang tidak dimengerti oleh satwa sekitar kawasan.

Satwa liar di zona konflik

Sementara untuk dampak konflik terhadap satwa liar, penelitian bertajuk "Stressed reptiles pay the metabolic price of war" yang tayang di jurnal Ecology bisa membantu menjelaskannya. Dalam penelitian yang dipimpin Shahar Dubiner dari School of Zoology, Faculty of Life Sciences, Tel Aviv University, Israel, terungkap bagaimana perilaku tokek gurun liar di kawasan berkonflik.

Dalam penelitian tersebut, suara ledakan dari roket yang ditembakkan menyebabkan stres dan kecemasan. Secara fisiologis, stres menyebabkan peningkatan laju metabolisme tokek gurun, termasuk energi yang dikeluarkan.

Pada gilirannya laju metabolisme yang semakin meningkat ekstrem dapat mengancam jiwa mereka. 

"Aspek paling tragis dari perang adalah hilangnya nyawa manusia, baik di kalangan tentara maupun warga sipil," kata Shai Meiri, rekan peneliti, dikutip dari Phys. "Namun, hewan juga sangat terpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara yang dapat mengancam kelangsungan hidup mereka."

Para peneliti menjelaskan, stres yang dialami baik pada manusia maupun hewan, merupakan mekanisme tubuh untuk mengimbangi peningkatan konsumsi oksigen dan cadangan energi yang menipis. Penyeimbangan ini diperlukan dengan cara menemukan sumber makanan.

Baca Juga: Hasilkan Emisi Karbon Besar, Serangan Israel ke Gaza Jadi Ancaman Perubahan Iklim

Di sisi lain, keberadaan mereka yang jadi terbuka di alam sangat mungkin dideteksi predator yang juga kelaparan. Lebih buruk lagi, stres seperti ini membuat suatu spesies kehilangan hasrat untuk bereproduksi.

Stres hewan peliharaan kita akibat perang

Di kawasan perang seperti Palestina dan Ukraina, penduduknya memiliki hewan peliharaan. Bagi banyak keluarga, hewan peliharaan sudah menjadi anggota keluarga yang tidak dapat dipisahkan. Kehadiran hewan peliharaan bahkan dibutuhkan bagi manusia yang telah kehilangan kerabat, sebagai cara menghadapi krisis.

Anjing terlantar di Gaza, Palestina, berkerumun di dekat tank Israel. Konflik bersenjata yang dilakukan manusia menyebabkan satwa liar dan hewan stres. Dampaknya bisa mengancam konservasi spesies terancam punah. (MENAHEM KAHANA/AFP via GETTY)

Anjing, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, punya indra pendengaran yang tajam dan lebih sensitif untuk merespons suara besar. Semakin tua umur anjing akan lebih merasa takut akan suara kebisingan. Perilaku respons dari suara ledakan memiliki ciri-ciri stres pasca-trauma pada berbagai hewan peliharaan manusia.

Selain itu, ketika ada konflik, hewan peliharaan sulit dievakuasi dan logistik bantuannya jauh lebih terbatas daripada manusia.

"Banyak tempat penampungan pengungsi tidak mengizinkan hewan, sehingga memaksa pemiliknya untuk membuat keputusan yang berat: melarikan diri ke tempat yang aman dan meninggalkan hewan peliharaan mereka, atau tetap berada dalam kondisi berbahaya agar tidak menelantarkan mereka," terang Katherine Compitus, piskolog di Psychology Today.

Evakuasi satwa di area konflik jangan diabaikan

Terkait evakuasi satwa di area konflik, Dubiner dan rekan-rekannya melakukan penelitian di Israel selatan dan utara. Kedua kawasan ini sedang menghadapi konflik dengan Palestina dekat Jalur Gaza, dan Lebanon di utara. 

Kondisi di Israel selatan cenderung lebih baik, mengingat serangan dari Gaza tidak banyak. Namun, pada kondisi luluh lantak seperti di Gaza, mungkin ada banyak satwa liar yang tidak terdeteksi.

Jika perang pecah tanpa ujung, satwa liar di kawasan konflik akan terus mengalami stres yang dapat mengancam jiwa. "Hal ini dapat memperburuk status konservasi mereka, terutama spesies yang sudah terancam punah," tutur Eran Levin, salah satu penulis makalah.

Namun, mengevakuasi satwa yang ada di wilayah perang punya tantangan berat bagi aktivis. Akses menuju lokasi terbatas karena pertempuran atau peraturan politik. Pada akhirnya, banyak organisasi, komunitas, dan aktivis dihimbau untuk mengevakuasi manusia.

"Selain itu, kondisi psikologis hewan, yang trauma oleh perang, membuat operasi penyelamatan menjadi lebih lambat dan lebih bahaya," tulis Compitus. "Penyelamat harus mendekati hewan dengan hati-hati, karena rasa takut dapat membuat mereka tidak dapat diprediksi dan lebih mungkin untuk menyerang."

Oleh karena itu, Compitus menyarankan, penyelamatan satwa baik yang dipelihara maupun liar, harus dilakukan secara terkoordinasi yang melibatkan pemerintah, LSM, dan komunitas internasional. Kebijakan harus mengakui kesejahteraan hewan juga tidak kalah penting, dan merupakan bagian dari penyelamatan kemanusiaan.

"Ini dapat mencakup perencanaan evakuasi hewan bersamaan dengan evakuasi manusia atau membangun tempat penampungan yang lebih ramah hewan di wilayah yang dilanda perang," lanjutnya.