Pernyataan yang kini menghiasi kubah Basilika Santo Petrus di Roma tersebut menjadi landasan teologis bagi keberadaan Paus. Setiap Paus sejak itu dianggap sebagai penerus spiritual Petrus dan duduk di "Kursi Petrus".
Kata-kata Yesus yang menjanjikan kunci kerajaan surga kepada Petrus semakin memperkuat kedudukan Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Sejak saat itu, lebih dari 260 individu telah menduduki tahta suci ini.
Institusi Kepausan telah melewati berbagai pasang surut sejarah Eropa, dari runtuhnya Kekaisaran Romawi hingga gejolak Perang Salib dan kebangkitan Renaisans Italia.
Dalam era modern, para Paus menghadapi tantangan yang tak kalah berat. Mereka berupaya keras menyeimbangkan doktrin Katolik yang kokoh dengan realitas kehidupan kontemporer, termasuk mempertahankan pendirian yang tegas terhadap isu-isu seperti aborsi dan hukuman mati.
Kenapa pemimpin Katolik disebut dengan Paus?
Melansir laman National Catholic Register, kata "pope" (yang di Indonesia lebih dikenal dengan "paus") dan "patriark" berasal dari kata Yunani kuno "páppas" yang memiliki arti "bapak".
Awalnya, kata ini digunakan sebagai panggilan sayang untuk merujuk kepada seorang ayah. Namun, seiring berjalannya waktu, makna kata ini mengalami perkembangan dan akhirnya diadopsi dalam konteks keagamaan.
Catatan tertulis pertama yang mencatat penggunaan gelar "pope" ditemukan pada abad ketiga Masehi, tepatnya pada sosok Patriark ("Pope") Heraclas dari Alexandria (232-248).
Pada awal abad ketiga, gelar ini diberikan kepada semua uskup. Kasus pertama penggunaan "pope" untuk menyebut uskup Roma juga berasal dari abad ketiga, ketika diberikan kepada Pope Marcellinus.
Di Indonesia sendiri, "pope" lebih sering diterjemahkan menjadi "paus". Hal ini disebabkan karena kata tersebutlah yang digunakan oleh Belanda dalam menyebut pemimpin tertinggi agama Katolik.
Selama masa penjajahan Belanda, banyak misionaris Belanda yang menyebarkan agama Katolik di Nusantara. Proses penyebaran agama ini turut membawa serta istilah 'paus' ke dalam kosakata bahasa Indonesia.
Baca Juga: Bagaimana Pernikahan Henry VIII dan Anne Boleyn Picu Reformasi Agama di Inggris?