Pembantaian 42 Ribu Warga London dalam Sejarah Perang Dunia 2

By Ricky Jenihansen, Minggu, 4 Agustus 2024 | 17:00 WIB
Peristiwa The Blitz dalam sejarah Perang Dunia 2 menewaskan lebih dari 42 ribu warga London. (Historia Extra)

Nationalgeographic.co.id—Pada periode September 1940 hingga Mei 1941, setidaknya 42 ribu warga London, Inggris tewas dibantai Jerman dan Italia. Pembantaian 42 ribu warga London, Inggris itu kemudian dikenal dengan istilah The Blitz.

The Blitz adalah peristiwa pengeboman masif yang dilakukan Jerman dan Italia tehadap wilayah London.

Menurut catatan World History Encycloepdia, jumlah korban sipil mencapai lebih dari 42.000 orang, dan 50.000 orang lainnya terluka.

Saat itu, warga sipil harus menanggung akibat nyata, bahkan sebelum pengeboman dimulai.

Mayat-mayat warga London bergelimpangan di mana-mana setiap harinya. Bahkan gosip mengenai siapa yang selamat di pagi hari menjadi perbicangan yang biasa.

Karena takut akan banyaknya korban jiwa selama perang udara, baik dari pengeboman konvensional maupun penggunaan gas beracun, pemerintah telah sangat menganjurkan evakuasi anak-anak di Inggris pada masa perang untuk mengurangi korban jiwa.

Ratusan ribu anak dievakuasi dari kota-kota, termasuk ibu kota tempat satu juta anak dievakuasi.

Anak-anak dievakuasi ke daerah pedesaan yang aman. Akan tetapi, perpisahan dari orang tua dan lingkungan yang sudah dikenal terbukti menimbulkan trauma bagi banyak orang.

Seperti yang ditunjukkan oleh sejarawan J. Hale: "Pada bulan Januari 1940 sekitar setengah dari semua anak dan sembilan dari sepuluh ibu telah kembali ke rumah lama mereka."

Meskipun demikian, ketika pengeboman dimulai, kebijakan evakuasi resmi tetap dilanjutkan.

Sekitar 6 juta anak dan ibu mengungsi ke kota-kota kecil dan komunitas pedesaan. Kemudian sekitar empat juta orang menjadi bagian dari skema evakuasi Operasi Piped Piper milik pemerintah.

Baca Juga: Sejarah Perang Dunia II: Kehidupan Bawah Tanah Inggris saat The Blitz

Inggris mengirim anak-anak ke Amerika Utara, Australia, Selandia Baru, dan Afrika Selatan.

Jumlahnya mencapai sekitar satu juta, yaitu sekitar setengah dari anak-anak London yang dievakuasi. Meskipun sebagian besar kembali ke rumah selama bulan-bulan awal perang yang tenang, yang disebut Perang Palsu.

Raja George VI dan Ratu Elizabeth di tengah reruntuhan dampak London Blitz dalam sejarah Perang Dunia 2. (Imperial War Museums/Creative Commons)

Menghitung Kerugian

Pada bulan Mei 1941, Hitler kemudian memutuskan untuk menghentikan Blitz dan menyerang Uni Soviet (Operasi Barbarossa).

Jerman terus mengebom Inggris selama perang, meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil.

Banyak kota di Inggris juga digempur habis-habisan oleh Luftwaffe, terutama Coventry.

Pengeboman tersebut mengakibatkan 60.000 warga sipil tewas dan 140.000 lainnya luka-luka (Dear, 109).

Dari jumlah tersebut, 15.000 anak-anak tewas atau luka-luka. Jumlah korban tewas warga sipil dalam Blitz mencapai lebih dari 42.000 orang dengan 50.000 lainnya luka-luka.

Hingga musim gugur tahun 1942, lebih banyak warga sipil Inggris yang tewas akibat bom daripada personel militer Inggris. Sebanyak 750.000 warga sipil kehilangan tempat tinggal.

Bangunan-bangunan penting yang sudah dikenal juga mengalami kerusakan. House of Commons terbakar, Westminster Abbey rusak parah, patung lilin Madame Tussaud hancur berkeping-keping.. Meskipun patung Hitler hanya mengalami patah hidung.

Kemudian British Museum kehilangan 250.000 buku dalam kebakaran, dan Natural History Museum juga mengalami kerusakan yang signifikan.

Katedral St. Paul rusak tetapi, secara ajaib, sebuah bom besar yang jatuh di sebelah fasadnya tidak meledak.

Menara London selamat dengan hantaman kecil di salah satu bentengnya. Menara jam Big Ben mengalami kerusakan ringan ketika sebuah bom meledak tepat di atasnya.

Akan tetapi lonceng tua yang dapat diandalkan itu tetap berbunyi tepat waktu beberapa menit setelah hantaman.

Ketika Big Ben berdenting, menjaga waktu selama The Blitz terjadi malam demi malam, warga London membayangkan mereka dapat mendengar gema yang meyakinkan, "Kita bisa merebutnya!".

Ketika Luftwaffe mulai kalah dalam pertempuran , maka ia lebih berkonsentrasi pada target sipil.

Sebagian besar serangan dilakukan pada malam hari karena kegelapan adalah perlindungan terbaik bagi pesawat pengebom Jerman terhadap pesawat tempur dan senjata antipesawat.

Para pengebom dipandu oleh radar ke target mereka, tetapi pemboman tetap sangat tidak akurat.

Akibatnya, gedung-gedung strategis seperti pabrik menjadi target, biasanya ada kerusakan besar pada wilayah sipil.

London pertama kali dibom pada tanggal 24 Agustus 1940. Para pengebom seharusnya menyerang terminal minyak tetapi secara keliru mengenai wilayah sipil di London.

Pengeboman sistematis The Blitz dimulai pada tanggal 7 September 1940 dan berlanjut hingga pertengahan Mei 1941. Pers Inggris menyebut kampanye ini "Blitz".

Sementara itu, ujung Timur kota, tempat dermaga berada, merupakan target khusus. Kota-kota lain di seluruh Inggris juga berulang kali terkena serangan.

Bagi warga sipil, yang tidak mengetahui di mana pembom akan menyerang berikutnya, tempat perlindungan serangan udara menjadi penting di mana-mana.

Potret kehidupan bawah tanah di seluruh Inggris saat peristiwa London Blitz dalam sejarah Perang Dunia 2. (Public Domain)

Nestapa Warga London

Jerman percaya bahwa pengeboman sistematis di London dan kota-kota lain akan menghancurkan tatanan sosial Inggris.

Dalam hal ini, Jerman ternyata salah besar, Inggris tak kunjung menyerah dan telah siap mengorbankan warga London.

Bahkan ketika salah satu sudut istana Istana Buckingham terkena bom, kerajaan tetap bergeming. Meski memang benar, hal tersebut menyebabkan tekanan luar biasa pada masyarakat Kota London yang dikorbankan.

Di sisin lain, juga sering kali ada tuduhan bahwa beberapa orang menggunakan tempat penampungan untuk hubungan yang tidak pantas.

Ada juga prasangka lain yang lebih jahat, seperti rumor bahwa orang Yahudi menghabiskan sepanjang hari di tempat penampungan dan menempati tempat terbaik saat terjadi penggerebekan.

Gagasan bahwa tempat terbaik diperjualbelikan di semacam pasar gelap tempat penampungan tampaknya juga tersebar luas.

Ada beberapa contoh, meskipun jarang, tentang orang-orang yang tidak memiliki tempat berlindung yang bertindak atas ketidaksenangan mereka saat melihat orang-orang kaya di tempat berlindung mereka.

Dalam satu insiden, sekelompok orang menerobos masuk ke ruang bawah tanah Hotel Savoy yang mewah di London. Ruang itu lantas digunakan sebagai tempat berlindung.

Sekitar 100 orang penyusup itu dipimpin oleh Peter Piratin, seorang komunis terkemuka, tetapi mereka diizinkan untuk menginap semalam.

Piratin dan para pengikutnya disuguhi teh. Mereka bersikeras untuk membayarnya (meskipun tidak dengan harga yang biasa dibayarkan di Savoy).

Pihak berwenang tentu saja khawatir akan kesehatan mental warga sipil serta melindungi mereka secara fisik dari pengeboman.

John Langdon menulis panduan singkat untuk mempertahankan sikap positif selama pengeboman dengan menulis buku 'Nerves versus Nazis'.

Tentu saja, banyak yang dapat meninggalkan kota-kota besar demi mendapatkan keamanan di kota-kota kecil, dan tinggal bersama kerabat.

Sementara itu, karena perisitwa pembantaian The Blitz telah memengaruhi lebih banyak orang, kerajaan dan politisi terkemuka akhirnya mengunjungi rumah-rumah yang dibom.

Kemudian cabang propaganda pemerintah Inggris memasang poster dengan slogan-slogan seperti "Inggris Bisa Mengatasinya" meski telah lebih 42 ribu warga London tewas.