Nationalgeographic.co.id – Meski ditetapkan sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terbanyak di Afrika Barat, Pantai Gading memiliki tingkat deforestasi yang tergolong tinggi di dunia. Dalam 50 tahun terakhir saja, negara ini telah kehilangan lebih dari 80 persen hutan primernya.
Inza Koné menyadari tanah kelahirannya itu menghadapi masalah lingkungan yang serius sejak usia remaja. Perhatian utamanya tertuju pada keberlangsungan hewan primata yang terancam punah bersamaan dengan musnahnya hutan-hutan.
Sejak usia 8 tahun, Koné hidup dekat dengan hewan primata. Ia pernah memelihara dan merawat bayi babun—yang merupakan pemberian sang ayah—selama bertahun-tahun.
“Saya dan babun itu menjadi sahabat baik. Namun, seiring waktu, ia tumbuh semakin besar dan semakin sulit untuk dikendalikan,” cerita Koné.
Baca Juga: Terapkan Pertanian Regeneratif, Pemilik Brand Lokal SukkhaCitta Raih Penghargaan Rolex Awards
Di sisi lain, Koné tidak bisa melepaskan peliharaannya begitu saja ke hutan. Sebab, babun tersebut sudah terbiasa dirawat oleh manusia, sehingga akan kesulitan untuk bertahan hidup di alam liar. Tak punya pilihan lain, Koné terpaksa melakukan tindakan euthanasia terhadap hewan itu.
“Bayangkan betapa sedihnya saya saat itu. Sejak saat itu, pandangan saya terhadap hewan liar, terutama primata, berubah. Saya menyadari mereka lebih baik dilepas di alam liar,” lanjut profesor biosains di Université Félix Houphouët-Boigny sekaligus Direktur Jenderal Pusat Penelitian Ilmiah Centre Suisse de Recherches Scientifiques (CSRS), Swiss, tersebut.
Koné menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mempelajari kehidupan dan konservasi hewan primata. Menyandang gelar doktor atau PhD Ekologi Hewan, ia pun menjadi primatolog pertama di Pantai Gading dan Afrika.
Bagi Koné, mempelajari kehidupan hewan primata bukan hanya memuaskan rasa penasarannya. Pada 2006, ia membantu menginisiasi program konservasi untuk satu-satunya hutan primer yang tersisa di Pantai Gading, yaitu Tanoé-Ehy. Hutan primer adalah kawasan hutan yang sama sekali belum tersentuh aktivitas manusia, seperti perburuan dan penebangan pohon secara liar.
Memiliki luas 11.000 hektare, Tanoé-Ehy menjadi rumah bagi empat primata paling langka dan terancam punah di Afrika Barat, yaitu monyet roloway, mangabey berleher putih, colobus berpaha putih, dan colobus merah Miss Waldron.
Baca Juga: Dunia Hewan: Benarkah Kuda Nil Menjadi Hewan Paling Berbahaya di Afrika?
Program konservasi itu juga melibatkan 11 komunitas yang tinggal di sekitar kawasan hutan Tanoé- Ehy.
Pada 2008, Koné juga memimpin kampanye yang menolak rencana pengeringan 8.000 hektare hutan Tanoé-Ehy untuk diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Dengan bantuan kepala suku dan pemimpin komunitas setempat, kampanye tersebut berhasil dan rencana deforestasi dibatalkan.
Saat ini, Tanoé-Ehy telah ditetapkan sebagai cagar alam yang dikelola secara sah oleh komunitas, termasuk 11 desa yang berlokasi di sekitar kawasan hutan.
Untuk memastikan pelestarian ekosistem di kawasan hutan terus dilanjutkan, Koné membantu mendirikan dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) konservasi lokal dan organisasi African Primatological Society pada 2017.
Koné juga terlibat dalam penyusunan rencana empat tahun untuk menanam dan memantau pohon di tiga hektar lahan pertanian per desa setiap tahun. Rencana ini termasuk menyiapkan kebun botani di setiap desa yang akan digunakan untuk tujuan pendidikan dan melestarikan flora lokal.
Namun, pekerjaan Koné di wilayah hutan Tanoé-Ehy belum selesai. Berbekal keahlian ilmiahnya, Koné terus mengumpulkan data ekologi hingga menggelar acara edukasi untuk mendukung perlindungan hewan yang berkelanjutan di Pantai Gading.
“Khususnya, saya berharap dapat membuktikan keberadaan colobus merah Miss Waldron yang terakhir kali terlihat hidup pada tahun 1970-an. Pembuktian ini dapat memperkuat alasan untuk (memberikan) perlindungan lanjutan bagi Tanoé-Ehy,” jelasnya.
Menjadi bagian dari Inisiatif Perpetual Planet
Tujuan mulia yang ingin dicapai oleh Koné melalui berbagai proyek lingkungan sejalan dengan visi misi Inisiatif Perpetual Planet. Sebagai bentuk dukungan, Rolex pun menetapkan Koné sebagai satu dari lima penerima penghargaan global 2023 Rolex Awards for Enterprise.
Untuk diketahui, penghargaan 2023 Rolex Awards for Enterprise diberikan kepada mereka yang dianggap berkontribusi besar melalui proyek yang berfokus pada lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan kesehatan, teknologi terapan, warisan budaya, dan eksplorasi.
Proyek-proyek tersebut pun dinilai berdasarkan orisinalitas dan dampaknya terhadap banyak orang, serta berdasarkan semangat usaha para kandidat.
Bagi Koné, penghargaan 2023 Rolex Awards for Enterprise yang ia terima menjadi “jalan pembuka” bagi dirinya untuk terus mengembangkan proyek konservasi hutan, baik di wilayah Pantai Gading maupun Afrika Barat.
“Harapannya adalah bahwa proyek yang dilaksanakan di Tanoé-Ehy akan dilihat sebagai model sukses untuk konservasi hutan berbasis komunitas di seluruh Afrika Barat,” ujar Koné.
Koné juga mengatakan, Inisiatif Perpetual Planet nantinya diharapkan akan memberikan dukungan dalam perluasan organisasi, pemantauan ekologi, hingga penciptaan kawasan konservasi lintas batas yang diperluas, termasuk hutan-hutan di seberang Sungai Tanoé di Ghana.
Anda dapat melihat berbagai program dan inisiatif yang telah dilakukan oleh pemenang 2023 Rolex Awards for Enterprise di https://www.rolex.com/id/perpetual-initiatives/perpetual-planet.