Selisik Krisis yang Jadi Penyebab Berakhirnya Peradaban Mesir Kuno

By Sysilia Tanhati, Senin, 12 Agustus 2024 | 16:00 WIB
Peradaban Mesir kuno di Sungai Nil perlahan bertekuk lutut akibat kekeringan selama berabad-abad, krisis ekonomi, dan penjajah asing yang oportunis. (Morhaf Kamal Aljanee/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Apa penyebab berakhirnya peradaban Mesir kuno? Kerajaan kuno di Sungai Nil mencapai puncak kekuasaan, kekayaan, dan pengaruhnya pada periode Kerajaan Baru (1550 hingga 1070 SM). Peradaban Mesir kuno berada di puncak kejayaannya pada masa pemerintahan firaun ikonik seperti Tutankhamun, Thutmose III, dan Ramses II.

Pada puncaknya, Mesir kuno menguasai wilayah yang luas yang membentang dari Mesir modern hingga semenanjung Sinai utara. Juga tanah kuno Kanaan, yang meliputi Israel modern, Tepi Barat dan Gaza, Yordania, dan bagian selatan Suriah dan Lebanon.

Namun, sejak pembunuhan Ramses III pada tahun 1155 SM, Kerajaan Mesir kuno yang dulunya besar perlahan-lahan runtuh. Kejatuhannya disebabkan oleh kekeringan selama berabad-abad, krisis ekonomi, dan penjajah asing yang oportunis.

Ramses III, firaun agung terakhir di peradaban Mesir kuno

Ramses III memerintah Mesir kuno selama 31 tahun. Secara luas dianggap sebagai firaun agung terakhir. Pemerintahannya bertepatan dengan salah satu periode paling bergejolak dan penuh tantangan dalam sejarah Mediterania kuno. Era itu dikenal sebagai invasi “Bangsa Laut”.

Identitas pasti Bangsa Laut masih belum diketahui. Namun sebagian besar pakar percaya bahwa mereka adalah kelompok pengungsi dari berbagai etnis dari Mediterania barat. Mereka mengungsi akibat kekeringan dan kelaparan. Para pengungsi datang ke timur untuk mencari tanah baru untuk ditaklukkan dan dihuni.

Dikenal sebagai konspirasi harem, plot pembunuhan kejam diduga menjadi penyebab kematian Ramses III. Penghuni harem firaun merencanakan pembunuhan untuk merebut takhta. (Wikipedia)

Armada Bangsa Laut yang merampok mungkin telah menyerang Mesir kuno setidaknya dua kali selama pemerintahan Merenptah dan Ramses III.

Pada tahun 1177 SM, Ramses III dan angkatan laut Mesir berhasil memukul mundur invasi besar-besaran kedua Bangsa Laut. Sang firaun mengabadikan kemenangan tersebut di dinding kuil dan kompleks makamnya di Medinet Habu.

“Namun, perayaan tersebut berumur pendek,” kata Eric Cline, seorang arkeolog dan sejarawan. Ramses III mampu melawan Bangsa Laut, tetapi tidak berhasil melawan rencana pembunuhan oleh haremnya. Menurut pemindaian CT mumi Ramses III, firaun tersebut ditikam di leher dan dibunuh pada tahun 1155 SM.

“Itulah awal dari akhir,” kata Cline. “Setelah Ramses III, selesailah sudah. ​​Peradaban Mesir kuno tidak akan pernah sama lagi.”

Baca Juga: Meski Penting, Pekerjaan Juru Tulis Mesir Kuno Ternyata Bisa Picu Cedera

Efek Domino dari runtuhnya Zaman Perunggu

Pada abad ke-12 SM, seluruh wilayah Mediterania mengalami peristiwa dahsyat yang dikenal sebagai “Runtuhnya Zaman Perunggu.”

Bagi kerajaan-kerajaan yang jatuh ke tangan Bangsa Laut, keruntuhannya berlangsung cepat dan mutlak. Kerajaan-kerajaan itu juga mengalami bencana-bencana lain yang terjadi pada saat yang sama seperti kekeringan dan kelaparan.

Bangsa Mycenaean di Yunani dan bangsa Het di Anatolia, misalnya, menyaksikan kota-kota, budaya, dan bahkan bahasa tertulisnya musnah.

Sebagian karena Ramses III mampu mengusir Bangsa Laut, Mesir kuno bertahan lebih lama, kata Cline. Namun, akhirnya Mesir kuno menjadi mangsa dari masalah yang sama yang menimpa wilayah yang lebih luas: “kekeringan besar”. Kekeringan besar berlangsung selama 150 tahun atau lebih.

Ketika kekeringan besar melanda, disintegrasi jaringan perdagangan Mediterania yang pernah berkembang pesat pun terjadi. “Hubungan internasional yang begitu menonjol dan lazim selama akhir Zaman Perunggu semuanya terputus,” kata Cline.

Wabah penyakit, hilangnya sumber daya, dan perampokan makam

Setelah kematian Ramses III, Mesir kuno diperintah oleh serangkaian firaun yang tidak efektif yang juga bernama Ramses. Ramses XI, yang meninggal sekitar tahun 1070 SM, adalah firaun terakhir dari Kerajaan Baru.

Catatan arkeologis dari periode ini memberikan petunjuk mengapa dan bagaimana peradaban Mesir kuno mengalami kemunduran yang begitu cepat.

Misalnya, mumi Ramses V tampaknya memiliki bekas luka cacar di wajahnya. Sementara para sejarawan tidak dapat memastikan apakah ia benar-benar meninggal karena cacar. Catatan menunjukkan bahwa Ramses V dan keluarganya dimakamkan di makam yang baru digali. Dan juga ada moratorium selama 6 bulan bagi siapa pun yang mengunjungi Lembah Para Raja setelah pemakaman.

Beberapa cendekiawan berpendapat bahwa ini mungkin salah satu perintah isolasi pertama karena penyakit yang tercatat. Dan kemungkinan tanda bahwa peradaban Mesir kuno dilanda wabah cacar pada saat itu.

Selain itu, selama pemerintahan Ramses V dan Ramses VI, Mesir kuno tampaknya kehilangan kendali atas tambang tembaga dan pirus. Keduanya merupakan sumber daya penting yang terletak di semenanjung Sinai. Nama mereka adalah nama firaun Mesir terakhir yang tertulis di situs tersebut. Mesir kuno mungkin telah menarik diri sepenuhnya dari Sinai dan Kanaan pada tahun 1140 SM, kata Cline.

Kemudian, di bawah Ramses IX, yang memerintah pada akhir abad ke-12 SM, Mesir kuno diguncang oleh serangkaian perampokan makam. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi ekonomi begitu menyedihkan. Juga hilangnya rasa hormat terhadap otoritas firaun begitu rendah. Maka tidak heran jika pencuri dengan berani menyerbu makam firaun yang telah tumbang untuk mendapatkan emas dan harta karun.

“Hal ini adalah kejahatan yang mengejutkan. Namun pemerintahan Ramses IX hanyalah awal dari periode perampokan makam kerajaan yang berkelanjutan,” kata Cline. “Pada satu titik, selama pemerintahan Ramses XI, mereka harus memindahkan beberapa mumi kerajaan untuk diamankan.”

Orang asing yang mengisi takhta kerajaan

Setelah Kerajaan Baru, Kerajaan Mesir kuno diperintah oleh serangkaian kekuatan asing. Hal ini menjadi bukti lebih lanjut tentang kemunduran peradaban Mesir kuno.

Pertama-tama datanglah orang Libya, orang nomaden dari perbatasan barat Mesir. Pengaruh dan budayanya secara bertahap mengambil alih kursi kekuasaan. Shoshenq I, seorang firaun keturunan Libya, adalah firaun pertama Dinasti ke-22. Ia mencoba mengembalikan kejayaan Ramses III dengan menyerang kerajaan Israel dan Yehuda pada abad ke-10 SM.

Kemudian, pada abad ke-8 SM, bangsa Nubia atau Kush secara damai mengklaim takhta Mesir kuno selama masa pergolakan politik. Serangkaian firaun Kush memerintah Mesir kuno selama hampir satu abad sebagai Dinasti ke-25 sebelum diusir oleh penjajah Asyur.

Cleopatra VII Philopator merupakan penguasa terakhir Dinasti Ptolemeus sekaligus firaun aktif yang terakhir di Mesir kuno. (WIkimedia Commons)

“Begitu raja-raja Kush mengambil alih, itu benar-benar mengakhiri Mesir kuno sebagai kekuatan independen,” kata Cline. “Kemudian bangsa Asyur datang, diikuti oleh bangsa Persia, Yunani, Romawi, dan kemudian Islam. Jika Anda berbicara tentang Mesir kuno yang menjadi kekuatan tersendiri dan diperintah oleh orang Mesir, itu tidak akan pernah sama lagi.”

Peradaban Mesir mengalami akhir kejayaannya di bawah Dinasti Ptolemeus (305 hingga 30 SM). Dinasti itu merupakan suksesi firaun Yunani Makedonia yang memerintah Mesir setelah kematian Aleksander Agung. Cleopatra VII adalah salah satu firaun Ptolemeus yang paling terkenal. Dinasti Ptolemeus membangun ibu kota Helenistik yang megah di Aleksandria.

Ketika Cleopatra dan Marc Antony dikalahkan oleh Kaisar Romawi Octavianus (Augustus) pada tahun 30 SM, Mesir kuno menjadi provinsi Republik Romawi. Peristiwa ini menjadi penutup dari Dinasti Mesir kuno terakhir sekaligus menjadi akhir dari peradaban Mesir kuno.