Nationalgeographic.co.id—Pernyataan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengenai potensi gempa megathrust telah menyita perhatian publik.
Publik pun bertanya-tanya tentang seberapa buruk dampak dari gempa yang diperkirakan mampu mencapai magnitudo sebesar 8,9 tersebut.
Beberapa mulai menyebut bahwa guncangan dahsyat yang ditimbulkan gempa tersebut mampu merobohkan bangunan kokoh, memicu tsunami raksasa, dan mengubah garis pantai.
Namun, benarkah gempa dengan magnitudo mencapai 8,9 bisa memberikan dampak buruk sebesar itu? Untuk mengetahui jawabannya, mari kita simak ulasan berikut ini.
Gempa Megathrust
Baru-baru ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan peringatan serius terkait potensi gempa megathrust di wilayah Selat Sunda dan Mentawai-Siberut.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengungkapkan kekhawatiran ini saat disinggung mengenai seismic gap di kedua wilayah tersebut.
Seismic gap merupakan area sepanjang batas lempeng aktif yang belum mengalami gempa besar dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun. Kondisi ini mengindikasikan akumulasi energi yang sangat besar dan berpotensi melepaskan energi tersebut dalam bentuk gempa bumi dahsyat.
"Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata 'tinggal menunggu waktu' karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar," ungkap Daryono dalam keterangan resminya, Minggu (11/8/2024).
Beliau menambahkan bahwa sudah ratusan tahun wilayah Selat Sunda dan Mentawai-Siberut tidak diguncang gempa besar.
BMKG memperkirakan gempa megathrust di Selat Sunda dapat mencapai magnitudo maksimal 8,7, sedangkan di Mentawai-Siberut bisa mencapai 8,9. Gempa sebesar itu tentu akan menimbulkan kerusakan yang sangat luas dan berpotensi memicu tsunami.
Baca Juga: Selain Megathrust, Ada 295 Sesar Aktif yang Perlu Diwaspadai Warga Indonesia
Kekuatan gempa
Lalu, apa yang terjadi jika suatu wilayah mengalami gempa dengan magnitudo mencapai 8,9? Untuk mendapatkan jawabannya, mari kita telaah terlebih dahulu apa itu magnitudo?
Seperti diketahui, untuk mengukur kekuatan gempa bumi, para ilmuwan menggunakan besaran yang disebut magnitudo. Melansir Britannica, Magnitudo ini menggambarkan seberapa besar energi yang dilepaskan saat gempa terjadi dan biasanya dinyatakan dalam angka.
Alat yang digunakan untuk mencatat getaran gempa bumi disebut seismograf. Seismograf akan merekam gerakan tanah yang terjadi akibat gempa dalam bentuk garis-garis pada kertas atau secara digital. Garis-garis ini menunjukkan variasi amplitudo gelombang seismik yang dihasilkan oleh gempa.
Skala magnitudo yang umum digunakan membagi kekuatan gempa menjadi beberapa kategori:
* 2.5 atau kurang: Gempa bumi umumnya tidak terasa, tetapi dapat tercatat oleh seismograf. Terjadi jutaan kali setiap tahunnya.
* 2.5 hingga 5.4: Sering dirasakan, namun hanya menyebabkan kerusakan ringan. Terjadi sekitar 500.000 kali setiap tahunnya.
* 5.5 hingga 6.0: Dapat menyebabkan kerusakan ringan pada bangunan dan struktur lainnya. Terjadi sekitar 350 kali setiap tahunnya.
* 6.1 hingga 6.9: Dapat menyebabkan kerusakan parah di daerah yang padat penduduk. Terjadi sekitar 100 kali setiap tahunnya.
* 7.0 hingga 7.9: Gempa bumi besar yang menyebabkan kerusakan serius. Terjadi sekitar 10-15 kali setiap tahunnya.
* 8.0 atau lebih: Gempa bumi dahsyat yang dapat menghancurkan total komunitas di dekat pusat gempa. Terjadi sekitar sekali atau dua kali setiap tahunnya.
Baca Juga: Gempa Magnitudo 5,6 Guncang Malang, Aktivitas Subduksi Landai Zona Megathrust?
Dari uraian di atas, maka dapat terlihat bahwa gempa dengan magnitudo 8,9 atau lebih, meski jarang terjadi, akan menimbulkan akibat yang sangat fatal.
Ukuran kekuatan gempa yang lain
Selain itu, dalam mengukur kekuatan gempa sering digunakan beberapa skala lain, yaitu Skala Richter (SR) dan Skala Intensitas Gempabumi BMKG (SIG BMKG).
* Skala Richter
Skala Richter adalah alat ukur yang dikembangkan oleh Charles Richter untuk mengukur kekuatan atau magnitudo gempa bumi. Skala ini didasarkan pada amplitudo gelombang seismik yang terekam oleh seismograf.
Melansir laman mtu.edu, semakin besar amplitudo gelombang, semakin kuat pula gempa bumi tersebut.
Skala Richter menggunakan skala logaritmik, artinya setiap peningkatan satu angka menunjukkan peningkatan kekuatan gempa sebesar 10 kali lipat. Sebagai contoh, gempa berkekuatan 6 skala Richter memiliki kekuatan 10 kali lebih besar dibandingkan gempa berkekuatan 5 skala Richter.
Berikut adalah gambaran umum dampak gempa bumi berdasarkan skala Richter:
* Skala Richter 1-3: Gempa bumi umumnya tidak terasa oleh manusia dan hanya terdeteksi oleh seismograf.
* Skala Richter 4: Gempa bumi mulai terasa di dalam ruangan, terasa seperti ada truk yang lewat. Barang-barang ringan mungkin bergoyang.
* Skala Richter 5: Gempa bumi terasa di luar ruangan. Barang-barang di dalam rumah bisa jatuh, dan beberapa bangunan mungkin mengalami kerusakan ringan.
Baca Juga: Tidak Terprediksi, Tetapi Jakarta Perlu Waspada Gempa Sunda Megathrust
* Skala Richter 6: Gempa bumi menyebabkan kerusakan pada bangunan, terutama yang tidak dibangun dengan kokoh. Jendela bisa pecah dan furnitur bisa bergeser.
* Skala Richter 7: Gempa bumi dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan pada bangunan dan infrastruktur. Beberapa bangunan mungkin runtuh.
* Skala Richter 8: Gempa bumi besar yang dapat menyebabkan kerusakan luas dan menimbulkan korban jiwa.
* Skala Richter 9 dan lebih: Gempa bumi sangat dahsyat yang dapat menyebabkan kerusakan total pada daerah yang luas.
* SIG BMKG
Untuk mengukur seberapa besar dampak gempa bumi di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengembangkan Skala Intensitas Gempabumi BMKG (SIG BMKG).
Seperti dipaparkan di laman BMKG.go.id, SIG BMKG adalah skala yang dirancang khusus untuk menggambarkan tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh gempa bumi di Indonesia. Skala ini mempertimbangkan kondisi geografis, jenis bangunan, dan budaya masyarakat Indonesia.
SIG BMKG menggunakan lima tingkatan yang ditandai dengan warna berbeda, masing-masing mewakili tingkat kerusakan yang berbeda:
* Tingkat I (Putih): Tidak Dirasakan Gempa bumi tidak terasa oleh manusia dan hanya terdeteksi oleh alat.
* Tingkat II (Hijau): Dirasakan Gempa bumi dirasakan oleh sebagian orang, tetapi tidak menyebabkan kerusakan. Benda-benda ringan seperti lampu gantung mungkin bergoyang.
* Tingkat III (Kuning): Kerusakan Ringan Gempa bumi menyebabkan kerusakan ringan pada bangunan, seperti retakan pada dinding atau atap yang bergeser sedikit.
* Tingkat IV (Jingga): Kerusakan Sedang Gempa bumi menyebabkan kerusakan yang lebih parah, seperti dinding retak, atap runtuh sebagian, dan struktur bangunan mengalami kerusakan.
* Tingkat V (Merah): Kerusakan Berat Gempa bumi menyebabkan kerusakan yang sangat parah, seperti bangunan roboh, jalan retak, dan infrastruktur rusak parah.